Minggu, 17 Juni 2012

Soesilo Toer "Menarik Garis Pada Level Ketidakwajaran " bag.2 selesai

MENARIK GARIS PADA LEVEL
K E T I D A K W A J A R A N
Soesilo Toer
Tulisan Bagian Kedua (Selesai)


Terbangun sudah subuh dengan kantong kemih sudah melembung penuh. Aku medang-medong ke kamar mandi mau buang air kemih dan tregedi kedua terjadi : selang copot lagi. Bergegas diantar istri aku ke dokter spesialis. Untuk ketiga kalinya ia menolak memasang selang dan memberi memo ke Rumah Sakit. Itu terjadi tahun 2007, ketika aku berniat memperingati satu tahun meninggalnya Pram. Rencana acara batal. Sebaliknya aku berlanglang buana dari Rumah Sakit Blora, dengan rujukan aku ke Semarang, ke RS Karyadi. Dua kali dan menginap di rumah istri adik Pramoedya, Prawito, yang tinggal di daerah Gombel. Sesudah diobok-obok dengan kepoces segala aku dianjurkan berobat jalan di Blora dengan nasehat supaya mengganti selang setiap lima hari sekali dan paling lambat seminggu. Kala itu kakak iparku yang kerja di Astra dan tinggal di Kalimalang Bekasi, mendengar penderitaanku dan menganjurkan untuk datang dan membawaku ke pengobatan alternatif di daerah Sukajaya Depok. Nasehat kuturuti. Aku diobati dengan tenaga dalam dan berbagai jenis pil, yang total jendral mendekati satu juta. Pulang berobat aku menginap di rumah Koesalah di Depok untuk kembali ke Blora tanpa hasil. Juga kiriman tenaga dalam tak berbekas. Berita tentang sakitku juga didengar oleh mertua, yang tinggal di Kalisoro Sleman, Jogja. Dongengnya ada tetangga, juga kena prostat dan jalannya sudah merangkak seperti siamang, berobat ke Boyolali, sembuh dalam tempo seminggu. Aku berangkat dengan penuh harap. Aku diberi obat sejenis bubuk jamu bintang tujuh, yang dinamakan Banihong, ciptaannya sendiri. Harga termahal sepaket seratus lima puluh ribu dengan kotak sumbangannya seratus. Di sini aku dapat diet antara lain dilarang makan sambel, minum susu, makan daging ayam dan seabrek larangan yang lain. Dua kali aku berobat ke paranormal yang kunilai jorok, di hadapan banyak pengunjung, aku difitnah biasa senggama sebelum jam dua pagi, dengan bukti bahwa model coitus macam begitu menyebabkan efek sampingan berupa penyempitan saluran kemih. Ia bahkan membual sering diundang Presiden untuk mengobati berbagai keluhannya. Semua gagal total. Dan berobatlah aku ke daerah Kuwu, Wirosari, Grobogan. Grobogan menurut dongeng berasal dari bahasa Belanda, yang artinya Grobok gede-Grote boks. Dan dengan harapan segede grobok itu lah aku ke sana. Paranormalnya juru rawat negeri, namanya sama dengan nama mblelekku sendiri, dengan ejaan baru, karena orangnya masih muda. Beda dengan namaku sendiri yang ejaannya lama, alias kolot. Di samping pijat, totok dan pijat refleksi yang diletakkan di punggung dan kedua telapak kaki, ditambah dengan seabrek pil dan kapsul. Ia juga menolak menurut omongannya memasang selang seperti yang dilakukan Rumah Sakit selama ini. Tapi ia tak mau mencabut, karena dianggap mencampuri pengobatan orang lain dan tak mau bertanggung jawab kalau terjadi musibah. Lima kali aku berobat ke sana di pagi buta, sebab kalau kesiangan sedikit bakal ditolak karena ia dinas sebagai pegawai negeri. Akhirnya kurasakan pengobatan kali ini pun sia-sia. Penyakit tambah parah, tidak bisa tidur, kurang nafsu makan dan sulit buang air besar. Di samping penyakit utama : kegagalan hidup berumah tangga. Jalan terakhir aku ke Rumah Sakit Blora dan mondok selama sepuluh hari. Belum dioperasi, katanya dalam darahku ada sejenis unsur kalau dioperasi dilakukan akan lama berhenti, bahkan bisa fatal dan kehabisan darah. Barangkali seperti tesis Pram bahwa Kartini juga kekurangan darah akibat melahirkan anak pertama dan terakhir yang kemudian terkenal dengan jendral Soesalit. Tak tahu pasti aku. Nafsu makan merosot tajam, makanan seperti brotowali di mulut. Dan aku pasrah kalau memang harus cuma sekian kiprah hidupku, Begitulah keadaanku selama itu. Sampai suatu kali malam-malam aku merasa lapar. Aku mulai membayang-bayangkan kira-kira makanan apa yang enak. Malam habis gerimis, sepi dan lapar itu aku diam-diam keluar dari barak dan pergi ke jalan raya di daerah rumah sakit. Masih ada beberapa gerobak dorong di sana dan aku pesan nasi goreng telor dadar dan segelas air jeruk panas. Semua kulahap habis. Besoknya aku minta istri mengurus kepulanganku.
“Kalau mati harus berani,” itu tulis Pram dalam ‘Larasati’. Aku berani mati, aku juga mendaftar sukarelawan pembebasan Papua Barat tahun 1962, sebagi letnan dengan jabatan kepala perbekalan. Yang kutakuti justru aku jadi impoten kalau dioperasi, seperti yang dialami kedua saudaraku. Aku tidak mau, kasihan istriku yang harus menanggung semua itu. Ia masih muda dan belum tua untuk menjadi bosen penyakit yang menghobi dan ngangeni itu. Pendeknya aku mati model bapakku tahun ’50, yang oleh Pram diabadikan dengan buku ‘Bukan Pasar Malam’. Tapi aku tak berpesan kalau mati supaya jasadku dibakar, dibuang atau diapakan saja seperti keinginan Pram. Aku berfikir bukan matinya, tapi berfikir impotensi yang bakal kutanggung. Dan bagiku itu sama saja dengan mati. Kubayangkan istriku menjada. Dan dikekepi lelaki lain. Huah gemes aku jadinya. Setan alas lelaki yang bagiku tak tahu malu itu. Istriku membujuk supaya aku banyak makan. Ia tawarkan berbagai sajian yang enak-enak. Ini bagiku juga gila-gilaan, atau kata Gunawan ‘edan-edanan’. Orang mati ditawari rawon, gule, ayam goreng ala KFC, minum energen, susu coklat, bahkan juga es krim terbaik saat ini. Sedang selagi sehat daun singkong hidangannya. Tak tahu dari mana ia punya keberanian pengeluaran yang kelewat boros itu. Karena selama blingsatan dalam usaha penyembuhan itu setidaknya lima juta telah amblas bak tanah longsor. Ada memang lebih empat ratus pohon jati kutanam, namun tabungan itu mungkin baru bisa dipetik sekitar duapuluh tahun lagi. Kuharap menjadi warisan buat anak lelaki tunggalku. Tak ingin aku menyiksa hari depannya dengan kemelaratan dan kemiskinan. Tetangga sudah banyak yang nengok dengan doa dan harapan, tetapi yang tidak nengok dan tidak peduli lebih banyak. Pasti ada yang mendoakan supaya aku modar sekalian karena punya kewajiban yang belum terbayar, karena cidra janji. Watak manusia memang pertama selalu memikirkan diri sendiri. Manusia adalah egois kambuhan, terutama berkaitan dengan duit, racun yang diburu oleh kebanyakan orang yang justru tidak senewen. Tak terasa aku sudah lebih dua minggu di rumah. Keadaan terasa belum ada kemajuan. Makan yang begitu saja, minum juga. Pikiran mengambang ke seantero jagad. Pikiran gila dan nyentrik juga bermunculan. Istri nampak pucat, kurus dan putus asa. Tapi ia tidak pernah kulihat menangis. Bahkan ketika kami dinikahkan penghulu di Cengkareng, Tangerang, ia pun tabah. Justru aku yang prembak-prembik. Terharu, ada dan yah kebangeten benget hidupku mau kawin dengan lelaki pengangguran, bekas tapol dan sudah tuwik pisan. Apa yang dicari dari diriku yang bungkik ini? Dan sekarang sedang kena prostat pula lagi. Dan aku kebingungan sendiri dalam sakitku itu, bagaimana membalas keluhurannya. Berkali-kali ia menganjurkanku supaya ke rumah sakit, kontrol dan ganti selang. Aku bersikeras menolak tak perlu lagi. Buang duwit percuma. Tapi aku minum terus obat anti biotik, lumayan murah dan bebas beli di apotek. Dalam hatiku aku pingin membuat uji coba dengan nyawaku sendiri, uji coba yang kulakukan dengan deg-degan dan ngeri. Takut mati begitulah kesimpulannya. Dalam penungguan yang tak pasti itu aku teringat artikel kesehatan di sebuah majalah yang sudah usang tentang penyembuhan prostat dengan sistem dimasukkan selang seperti diriku. Kemudian selang itu dipompa dan dipanaskan sampai delapanpuluh derajat celscius. Artikel itu membikin aku percaya bahwa prostat bisa disembuhkan tanpa operasi. Artikel itu ditutup dengan kesimpulan bahwa pasien yang diobati dengan teknik terbaru itu dinyatakan sembuh dengan prosentase seratus. Prostat diumpamakan bak daun muda yang diseterika hingga luyuh layu. Cuma yang bikin aku miris adalah bahwa artikel itu ditulis, di seluruh Indonesia  rumah sakit yang punya perlengkapan medis seperti itu baru dua buah. Tak terbayangkan berapa banyak orang yang tertarik dan mencobanya. Sedang dari diriku tak terbayangkan berapa biayanya. Inilah yang bikin patah semangat. Dan inilah yang bikin timbul ideku membiarkan selang terpasang beberapa minggu. Pasti akan terjadi abses, penanahan dan pembusukan. Maka terjadilah kelainan. Alat reproduksi itu perih kalau aku buang air kecil. Dalam keadaan tidur semua air kemih masuk ke dalam urin bag, namun kalau aku buang sambil berdiri separo air itu tumpah dan banjir keluar selang. Bukan itu saja, air kemih itu bercampur dengan cairan berwarna keputihan seperti susu. Dugaanku itu pasti nanah. Begitulah terjadi sekitar tiga minggu terakhir aku pakai selang dan setuju diajak istri ke rumah sakit. Mas Budi, bagian penyakit dalam, yang biasa menanganiku terhenyak manakala mencabut selang kerena selang itu bercampur nanah dan darah.
“Mas terlalu kasib kontrol!”
Dan aku jujur mengakui. Ia sendiri mungkin air liurnya deras mengalir deras melihat keadaanku. Tentunya ia sangat kuatir. Namun aku menolak dipasang selang baru. Selang terakhir diberikan dari rumah sakit kubuang entah ke mana.Ternyata itu adalah hari kesembuhanku yang penuh mukjizat. Itu terjadi lebih dari setengah tahun yang lalu. Kulanggar semua larangan, kunikmati semua yang kusuka. Aku tak jadi mati.
Kembali ke pak dokter, bekas buangan dari Buru yang dibon kembali ke Jakarta. Anjurannya supaya aku puasa tak kugubris. Sebaliknya aku banyak makan papaya, yang banyak ditanam di seputar pagar kawat berduri. Pagar kawat berduri adalah salah satu cerita pendek penulis berbakat Trisnoyuwono. Aku termasuk pengagum beratnya.
Waktu itu berat badanku memang mencapai rekor, hampir enampuluh lima kilogram. Dalam keadaan normal sekitar limapuluh tujuh kilogram. Ketika aku jadi sukarelawan dan sering kakias, lari jarak jauh dengan membawa senjata, berat badanku merosot sampai tinggal empatpuluh delapan kilogram. Salah satu pendapatku untuk menolak nasehatnya puasa adalah mengurangi makan dan banyak olahraga. Dan itu kulakukan dengan mengambil jatah orang lain yang dapat kewajiban lurah blok tahanan berupa satu jam mengisi bak mandi. Setiap hari rata-rata aku mengambil jatah tiga jam. Dan orang yang ogah kerja dan kuambil jatahnya disamping terimakasih sering memberi imbalan makanan bahkan pakaian. Kerjasama yang saling menguntungkan. Dan langkah ini pun membawa manfaat dan kesembuhan. Jadi mungkin benar wasiat Toer, bahwa anak-anaknya yang berrasi bintang Aquarius walau fisiknya lemah tetapi kebanyakan bisa mengobati dirinya sendiri. Pak dokter sendiri pasti juga heran, namun ia tidak mau menegurku, jaga gengsi martabatnya yang sedikit ternoda. Pak dokter juga belajar akupuntur ala Cina dan aku minta dijadikan kelinci percobaannya. Weleh weleh, bukan main ndredeg. Dan tentu saja sakit bukan main. Ketika ditangani gurunya, yang dari Cina. Aku tak tahu alasan kenapa ia ditahan. Yang kutahu tusukan jarumnya ngguanyer banget. Aku bahkan ketagihan. Kalau jarum itu tepat sasaran yang dituju, rasanya seperti telinga yang dikilik dengan bulu. Namun terus terang akupun sangat berterima kasih banget, kalau tidak ada dia sesuatu yang fatal bisa saja terjadi. Cuma herannya dia tidak pernah cerita kenapa dia ditarik ke Jakarta kembali. Apa ada novum atau sesuatu masalah besar dengan jabatannya. Yang kudengar cuma bahwa waktu itu IDI sepertinya condong atau dicondongkan agak ke kiri. Padahal kalau dilihat dari sumpah jabatan kewajiban mutlak semua dokter adalah menolong siapapun, dalam keadaan apapun dan di manapun, tanpa harus tanya politik dan idiologinya. Kiri atau kanan, Tugas pokok adalah menolong. Apalagi kalau menurut pendapatku, yang mungkin juga basi, karena aku memang kurang doyan baca, ilmu selalu bersifat universal. Sedang kedokteran adalah salah satu ilmu yang paling kuno, yang dimiliki oleh umat manusia. Mungkin sudah kuceritakan bahwa menjelang pembebasanku aku dipindah ke rumah tahanan militer di Bilangan jalan Boedi Oetomo. Pak dokter ke Nirbaya, termasuk dalam kelompok yang mau dibebaskan dari sana. Entah berapa lama sesudah pembebasan pak Ashar datang ke rumah Pram. Aku kaget bukan main. Pasti ia mau menyerahkan anak gadisnya, perawan yang pada suatu kali bersama ibunya datang ke satgas Kebayoran Lama. Waktu itu aku iseng-iseng memujinya entek ngamek. Sedang aku sendiri mengaku bujangan ting ting. Keyakinanku siapa tahu pak dokter percaya oleh kelihaianku othak-athik. Kalau itu benar, maka ia adalah dokter korban pertama gelarku, yang kuperoleh selama menuntut ilmu di lembaga resmi pemerintah ORBA. Sayang ketika ia datang bersama anak yang kumaksud ke rumah Pram, aku sedang dinas resmi ke Bengkulu sebagai tokoh teras TASS-Tukang Aduk Semen Sementara. Aku memang bajingan. Siapa takut? Sampai sekarang aku belum pernah ketemu dengan pak dokter. Katanya tinggal di Kebayoran Baru. Dan aku ogah mencarinya. Tak ada ongkos.
Bebarapa waktu setelah hijrah ke Jakarta, entah berkenaan dengan hari besar apa, atau ulang tahun apa, mendadak Pram masuk ruang makan di mana kami bertiga sedang belajar.  Gayanya resmi banget, tak seperti biasa nyantai ala tapol resmi. Ternyata ia melantunkan kalimat-kalimat bergelora yang tak kumengerti dan kupahami. Kemudian kutahu dari Koesalah, bahwa itu adalah seni pentas yang namanya deklamasi. Oleh pengetahuanku yang cekak, seutuhnya aku tidak ngerti seni macam itu dan bahkan seni apapun lainnya. Seorang teman jebolan sebuah perguruan tinggi ternama di Amerika, mengistilahkan keadaanku itu dengan cemooh : “Bengong aja belon.” Atau BAB-akronim kerennya.
Ada beberapa kata yang nyangkut di ujung ingatanku ketika Pram sedang ngedan itu. Sampai sekarang dua kata itu ia ucapkan dengan suara bergetar, seperti keluar dari hati kecilnya. Beda banget rasanya kala ia melukiskan cinta sebagai sejenis kentutnya. Dua kata yang ia hentakkan di depan kami yang kuingat itu adalah “Aku” dan “Binatang Jalang”. Eh tak tahunya sekitar kurang dari sepuluh tahun kemudian dua kata itu lebih mengiris-iris hatiku ketika dilantunkan oleh para seniman kota hujan Bogor dalam rangka memperingati hari lahirnya Chairil Anwar. Waktu itu aku sedang kerja di sebuah jawatan pemerintah sebagai agendaris, jabatan terendah dalam struktur hirarki inspektorat.
Dalam kesempatan di gedung pemuda Kota Tales itulah aku berkesempatan mengenal budayawan Ali Audah, wartawan senior Suara Pembaharuan yang dulu bernama Sin Po, Wirawan Respati alias Winarto dari Solo, seniman setempat Achmadi. Tak terlupakan juga penyair kondang Taufiq Ismail, yang sebelumnya lebih sering mempublikasikan dirinya sebagai Taufiq A.G, tak tahu sejarahnya mengapa perubahan itu. Aku juga tak tahu persis kepanjangan dari singkatan huruf tersebut. Yang jelas bagiku adalah ia bersama D.S.Moeljanto, berhasil menerbitkan dua karya setebal bantal bayi tentang geger percaturan Lekra dengan Manifes Kebudayaan “Prahara Budaya” dan “Tirani dan Benteng”.
D.S. Moeljanto adalah atasanku ketika aku bekerja sebagai korektor sebuah penerbitan “Interpress” di Jl. Medura Jakarta. Ketika kulapori tentang dua karya monumental itu kepada Pram tentunya aku dengan rasa bangga, punya dua tokoh kondang tersebut, ternyata Pram hambar saja. Pram menjawab pertanyaanku yang penuh gairah dan semangat, “Tak ada yang baru, semua sudah basi!”
Lha barang basi kok begitu dahsyat dipublikasikan tanyaku dalam hati. Sebelum habis aku keheranan Pram melanjutkan, “Bagaimana itu sobatmu…Masih berani nantang?”
Dan aku lebih melongo lagi, tak mengerti persoalannya. Kini aku penya kesempatan untuk menyampaikan tantangan itu kepada sang maestro bung Taufq Ismail atau Taufiq A.G., aku siap melemparkan handuk kecil sebagai pengganti kili manakala adu jangkrik dimulai, “Ayo bung Taufiq, gebuk dia…Kepret habis!”
Tamat SMA aku seperti hidup dalam halusinasi. Tak percaya diri sendiri. Kecil nyali dan taji. Aku adalah seorang pesimistis. Jadi benar ketika aku didamprat Prawito, adik pertama Pram, “Mbok belajar di UNRA, seperti aku ini. Kerjanya keluyuran, gelandangan mau jadi apa kau, heh?”
Prawito memang gualak, mblekete. Bombongan bapak karena kuat, hebat bersemangat dan berbakat. Aku pengangguran dan hidup dari tunjangan pensiun orang tua. Pendeknya ngenes banget kala itu. Kegiatan kecil-kecilan sebagai juru ketik Kurus bahasa Belanda yang didirikan oleh seorang bule, yang tinggal bertetangga denganku, ditutup, karena ia solider dengan negeri leluhurnya, ketika konfrontasi dengan negeri kincir angin dalam kepemilikan wilayah Papua Barat. Ia hengkang ke negeri tanah rendah tersebut. Tentu hal ini membuat aku blingsatan kekurangan dana. Bayar sewa kamar pun harus mencari utangan. Didorong oleh kebutuhan hidup dan umur yang meningkat tanpa bisa dicegah aku mencoba mencari kerja. Jerih payah akhirnya aku dapat panggilan ke Bogor. Dengan bangga aku kapor kepada Prawit, yang waktu itu punya jabatan mentereng, interpreter. Dan ia mencemooh, “Yah, pegawai negeri. Bapakmu itu nasionalis, orang swasta, kau…masya’aloh!”
Aku juga lapor kepada Pram, sebagai kewajiban. Ia juga heran dan tak percaya, ketika aku pamitan berangkat, “Kau jadi pegawai negeri?” mulai Pram. “Dewan Pengawas lagi. Itu sama saja artinya bagimu mencari musuh.”
Aku mlongo dan memble. Dan ketika sebelum aku sadar Pram melanjutkan kuliahnya, “Ingat… duit itu tidak kenal sanak saudara, tak mau tahu teman, kawan. Aku diusir dari rumah juga gara-gara duit. Aku minggat dari mbakyumu (maksudnya istri pertamanya) juga perkara yang satu itu. Jaga dirimu.. nama keluarga. Kasihan bapakmu…itu Bapakmu kenyang ditipu orang.”
Aku dipeluknya  di depan rumahnya yang belum selesai di Bilangan Rawamangun, yang waktu itu dikenal dengan nama Jalan Lapangan Inggris. Mendadak kurasakan seperti hidungnya buntet dan nafas tersengal. Tak ayal Pram menahan galau hatinya. Bukan terhadap diriku, tetapi bapaknya yang dihina dan dipujanya.
Riwayat hidup Pram kukira sangat ironis. Lucu, aneh, juga mengharukan. Dimulai dari berlama-lama mendekam di penjara Bukit Duri. Keluar dari penjara tanpa tenggang waktu menikah dengan hadiah buat istrinya sejumput bulan madu dengan perjalanan tetirah ke tanah kelahirannya. Tidak tahu pasti aku dan Pram bungkam sampai matinya, secara pribadi cerita atau tidak waktu itu bahwa bapak sedang sakit akibat berbagai sebab yang merundung kehidupannya. Sakit akibat politik, kekecewaan membangun rumah tangga, kebodohan meninggalkan jabatan mapan di gubernemen dan entah apa lagi namanya. Akibat fatalnya adalah keputus-asaan. Kawin lagi salah kaprah, anak sudah kebacut seabrek bayaknya, walau aku beberapa saksikan sendiri orang datang dengan umpan dan iming-iming hadiah berbagai sandang pangan dan perhiasan. Rasaku jiwanya mati. Jiwa mati ini memper dengan judul seorang pengarang negeri beruang putih, yang kemudian dilansir sebagai humor sehat oleh generasi berikutnya dengan Toltoyevski. Yang menjadi pertanyaan masa kini, maksudnya sesudah aku mengerti, yang tentunya berbeda dengan masa lalu, adalah : apa yang mereka cari, apa sebenarnya mereka hendak kukuti dengan menawarkan diri sendiri tanpa malu itu? Bagiku sangat mengherankan. Penghasilan bukan, jabatan tidak, kharisma? Kharima apa kalau bapak sudah tenar sebagai pemain ceki. Kala itu Blora digelari sebagai kota pensiunan, yang hobi masyarakatnya adalah ceki. Juga anak-anak, termasuk aku yang getol banget main jeme. Lamaran-lamaran yang datang bagi masa kanakku yang kepepet adalah berkah banget. Terutama ater-ater makanan yang serba luezat-zat banget.
Kedatangan Pram kala itu banyak menimbulkan berbagai masalah dan hal baru, yang oleh mbakyuku Oemi dianggap mokal dan neko-neko. Misalnya karena melihat rumah yang porak poranda tak terurus, ia pengin menginap di hotel. Batal, mungkin kemudian ia menyadari bahwa duit ongkos tetirah itu hasil dari gentayangan ngutang. Ia pada suatu kali minta disediakan sarapan berupa kentang goreng potong persegi besar dengan lauk bistik daging sapi.
Oemi blingsatan, seumur-umur ia tidak pernah tahu garnier lain, selain nasi jagung dan beras. Ini kentang. Pengetahuannya kentang cuma buat bikin frikadel dan campurn sayur sop. Tak ingat aku Oemi mengabulkan keinginan kakaknya yang lagi bulan madu apa enggak. Dalam nostalgia di kemudian hari Oemi bersikeras mengatakan bahwa ia tidak mengecewakan kehendak ‘sang pengantin’ dengan bersungut-sungut, bahwa Pram pengin membuktikan di hadapan ‘sang putri’, bahwa walau ia bekas tahanan namun tetap berasal dari keluarga bukan sembarangan. Dalam silsilah entah siapa yang bikin, keluarga embah Ngadiluwih merupakan keturunan Brawijaya. Dan aku tergelak mendengar itu, melihat kenyataan hidup masa kanak-kanakku yang pahit getir. Turunan raja makannya thiwul, sayurnya bonggol pisang, lauknya besusul. Bukan main lelucon ini. Ngeres kebangetan.
Suatu kali, sore-sore kami semua diwajibkan, tanpa kecuali, bezuk bapak ke rumah sakit. Naik dokar tiga buah. Biasanya cuma satu. Itupun seingatku langka banget. Kini tiga. Apa bukan kejutan. Bukan itu saja. Pram pagi-pagi sambil nunggu sarapan ia jalan-jalan, makan angin. Dan sang istri berjalan di sampingnya santai seraya membiarkan tangan kanan dan tangan kirinya dikempit Pram. Komentar para tetangga luar biasa. “Wah cah..bojone digandeng teruos!” atau “Puendeke lagek duadi luakon!”
Ada lagi, “Cereke ngantene gelis guede!”
Ada juga yang jujur, “Sing rukun yo gus Mamuk. Nikah ora ditunggoni ibuke.”
Yang sewot juga ada, “Bapake karek matine, e…,anakke malah mblekete!”
Rupanya Pram sudah kebal dan berhasil dalam dunia perbudegan. Ia tak peduli bahkan tambah petakilan. Tradisinya terus digelar sampai akhirnya komentar bosen sendiri. Ingatan tentang bezuk rame-rame itu praktis semua terakam dalam buku Pram ‘Bukan Pasar Malam’. Satu-satu dari yang tertua sampai yang paling muda. Urut. Suatu keajaiban yang kebetulan bahwa seluruh kedelapan anak-anak Toer-Saidah hadir, tanpa kecuali anak-anak mantunya, istri Pram dan suami Koenmarjatoen. Tumplek di rumah sakit dari mringis sampai yang njeginggis.
Di rumah sakit baru kemudian aku tahu bahwa kami diwajibkan setipa orangnya untuk sungkem dan minta ampun kepada Bapak. Ini tentu hal yang mengherankan. Seumur-umur belum pernah keharusan ini diterapkan. Kami memang setiap lebaran sungkem ke Kauman, ke rumah mbah Rembang. Bukan untuk minta ampun, tapi cari recehan rontok dari balik kemben. Ini lain, ini menakjubkan sekaligus menakutkan, mengerikan. Sungkem orng tua, minta ampun, ada apa, ada firasat apa?
Dan aku langsung ingat, suatu ketika Bapak sare siang. Kami bertiga, aku, Leik dan Cuk main bola di dalam rumah. Sekali tempo bola mental nabrak lemari kaca. Hancur, Bapak wungu dan kami bertiga kena sabet ikat pinggang sebanyak sesuai umur, tanpa komentar, tanpa sekejap pun umpatan dan maki. Lain kali main bersama anak-anak kampung main bola dari karet hutan. Bola kutendang nabrak pagar dari carang bambu berduri dan kempes. Yang punya bola minta ganti, sedang teman-teman sepermainan bukan menghibur sebaliknya bahkan menyoraki, ngece dengan suka ria. Aku kebingungan, minta uang Oemi dia mendelik, “Dari mana aku punya duwit?”
Bola tidak dapat dipompa dan tidak bisa dibetulkan. Dan aku memberanikan diri minta sama bapak sambil menangis karena putus asa. Bapak menyerahkan lembaran uang ratusan dan aku ngibrit ke pasar beli bola. Harganya cuma empat rupiah. Kembalian kupasrahkan bulat kepada bapak tanpa minta terimakasih. Oemi yang jadi pengurus rumah tangga sejak ibu meninggal minta supaya sebagian uang diserahkan kepadanya. Dan aku ganti mendelik kepadanya.
Apakah semua dosa yang harus kutempuh dengan mohon ampun. Dan ketika sampai pada giliranku masuk ke dalam kamar, aku sudah tidak kuasa menahan air mata. Tangan bapak yang ceking kuraup, tapi dielakkan. Sebaliknya dengan tangan yang kurasa gemetar itu kurasa kepalaku dielusnya patah-patah. Kata-kata ampun tak mampu keluar dari tenggorakanku yang bak dicekik. Tiga hari kemudian bapak meninggal di rumah. Rupanya Pram sudah bisa melihat bahwa bapak tidak kuat lagi bertahan hidup. “Bukan Pasar Malam” Pram adalah sebagian dari Bukan Pasar Malamku sendiri yang berlumuran air mata. Pasar malam yang mengiris hatiku itu memberi secercah berkah pencerahan, bahwa bakatku adalah cengeng. Dan itu kupertahankan sampai detik tulisan ini dibuat.
Disiplin adalah pangkal keberhasilan. Itu nasehat yang sudah kawak uwi, tetapi tetap bugar. Barangkali cuma bagiku yang berarti sebaliknya. Maksudku dengan modal disiplin yang menjanjikan keberhasilan itu aku justru gagal. Begini. Karena sulitnya di masa kanak-kanakku, aku terobsesi jadi orang miskin. Obsesi itu kurintis setapak demi setapak, yang kumulai dengan menjadi pemulung bungkus rokok. Terutama itu kulakukan di waktu-waktu luangku. Nah pada suatu kali aku kebentur hari mujur, aku nemu segebok uang, di jalan Kaliwangan, dekat jembatan Kali Lusi, yang banyak dikenang dalam beberapa tulisan Pram. Proses selanjutnya nemu merupakan bagian tak terpisahkan dari hidupku.
Oleh kuatnya obsesi hidup ini pada hari-hari tertentu bak ada firasat, tanda-tanda, bisikan, mimpi dan sebaginya tentang akan datangnya sesuatu penemuan. Bahkan setiap bulan sekali bagaikan ada sinyal tentang D-day keberuntungan. Dan sinyal atau tanda lainnya itu bukan hanya dalam masalah temu menemu tetapi juga peristiwa yang lain. Yang paling mengejutkan ketika aku ngantri karcis untuk istri dan anak pulang ke Jogja. Ketika aku sendirian di depan menunggu loket dibuka, terdengar bisikan “anakmu jatuh”. Bisikan itu begitu jelas dan mengagetkan, sehingga begitu aku beli karcis langsung njrantal pulang naik taksi, padahal biasanya cukup dengan naik bus kota. Bukan main terkejut begitu aku turun di depan rumah mbakyuku Ies, yang muncul di depan berujar lantang, “Sudah dengar, anakmu jatuh.”
Benar-benar edan suara dalam telinga di depan loket Gambir itu. Dan kejadian model begini bukan sekali, berkali-kali dalam berbagai situasi dan kondisi. Mungkin aku dikuntit setan gundul yang royal memberi berkah. Tak tahu aku. Tak jarang juga hanya sinyal; halusinasi. Pernah aku dituntun supaya lewat jalan lain dari jalan biasa yang umum kupergunakan. Dan sinyal itu benar, aku nemu bingkisan rapi di sebuah tikungan. Kupungut dia sesudah aku tengok kiri kanan. Ada juga rasa malu dilihat orang. Ketika kurasa aman bungkusan kusambar dan kutilep dalam kantong lain. Bungkus pasti sesuai isi. Itu adalah hukum penemuanku, yang kuciptakan sendiri. Di rumah bungkusan kubuka penuh harap. Dan ternyata isinya di dalam seonggok…pembalut bekas pakai.
Jejak langkah memang tak bia dirancang oleh manusia. Namun aku tetap yakin, sinyal dengung di telinga, kicau burung prenjak, ketiban cicak atau berbagai firasat lain. Ketika aku ditahan dan tidur di ambin kayu sendirian, ada cicak keparat menjatuhui jidatku. Aku berpikir pasti ada bezuk datang besok di hari terima tamu di satgas Kebayoran Lama. Tidak tahu ada tanda-tadna suadara datang, anuun namaku dipangil. Harap cemas menggelora. Aku dibawa ke ruang lain. Pembebasan pikirku. Dan di sana menunggu seorang mayor besar berpakaian lengkap. Ia mengulurkan tangan sambil memperlihatkan giginya yang sedikit tongos. Aku sigap mengulurkan tangan menerima uluk salamnya. Dan entaj bagaimana gerakannya tahu-tahu dua jari telunjuk dan tengah yang panjang dan kokoh itu menghunjam kje dalam perutku. Suara aneh berbunyi sendiri dari perut ke kerongkonganku bersmna robohnya aku terjengkang ke belakang. Tidak tahu yang spontololoy itu cicka atau mayor besar itu. Namun aku tetpa percaya sinyal dan firasat atau lainnya. Aku memang kolot. Dan obsesiku tepat : jadi orang miskin.
Untuk menjadi pemulung sejati aku menciptakan sendiri berbagai kriteria. Keprofesionalanku akan terwujud dan aku siap menggelari diriku sendiri sekiranya kelak di kemudian hari aku menemukan kalung emas. Walau aku pernah tahu bahwa hiasan kalung, cincin atau gelang dulunya adalah kode pemilik budak. Justru di abad modern sekarang merupakan prestise dan status. Berarti sekiranya aku menemukan kalung impian itu aku menjadi dualis, pertama sebagai budak dan kedua sebagai pemilik, atau setidak-tidaknya sebagai tokoh terpandang. Suatu ambisi yang bagiku kelihatan berbau kebegoan sejati. Pendeknya sejak penemuan duit segebog dekat Kaliwangan, jembatan yang menghubungkan Blora dengan Randublatung, nemu-menemu merupakan sesuatu yang sangat indah, suatu pencerahan, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari dari hidupku. Kiatnya untuk menjadi pemulung sejati harus banyak ngluyur dan memulung apa saja di jalan. Dan ini membuat aku memble banget ketika aku diboyong Pram ke Jakarta. Dia itu menerapkan disiplin ketat, barangkali disiplin militer dan disiplin tapol. Kita dibikin bak robot hidup, belajar tepat waktu, tidur tepat waktu. Makan juga. Be’ol tidak tepat waktu. Mungkin disiplin bagi Pram merupakan konsep perjuangan hidup. Dan ia berhasil. Dan disiplin itu diterapkan agar kami juga berhasil. Dan justru itu obat mujarab ketidakberhasilan itu yang membikin aku gagal. Obsesi jadi terganggu, mimpi yang kumimpikan muspro. Ini yang bikin aku nelongso padahal uah…, aku nemu istri yang sedang tapakur menanti calon suami di pinggir kolam dekat makam Kalibata, juga masih tetap menyandang sebagai pemulung. Huebaat kan?!
Ketika aku kerja jadi tukang kliping dan ndongeng, di Bilangan Jakarta Timur, di tempat kerja, yang sekaligus tempat mampirnya bayak bekas tapol, WTS-Wartawan Tanpa Surat kabar, yang mencari angpau, aku ketemu tapol dari Buru. Orangnya kehitaman, tinggi kekar, bicaranya cerdas, penuh senyum walau kurasakan penuh kombinasi bibir dan deretan giginya menggambarkan ketidaktulusan, mendekti senyuman milik orang yang berwatak licik. Dongengnya sangat menarik, nampaknya di semua peristiwa besar yang pernah terjadi di tanah air ia selalu terlibat di dalamnya. Kalau ia dongeng ruang jadi penuh sesak, gelak tawa berulang kali membahana, asap rokok dan denting gelas kopi tak henti terjadi. Ia juga cerita pengalaman di Pulau Buru. Kenal Pramoedya secara pribadi dan mendokumentasikan dengan berbagai kejadian yang pernah ia lakukan dengan Pram. Makanya kedatangannya selalu kutunggu banget. Sebelum ke Buru ia juga pernah ditahan di rumah tahanan Salemba. Dan ketika kutanya nama Koesalah, ia mengaku kenal pribadi, juga dengan Prawito kenal. Karena begitu banyak yang ia ketahui aku menilai ia manusia langka bahkan mendekati ajaib. Dalam lain kesempatan aku ketemu Koesalah dan mendongeng manusia ajaib itu bangga dan gegap gempita. Aku menilai Koesalah waktu itu kurang mood dan sungguh kurang ajar karena sepertinya ia melecehkan tokohku itu. Ketika kutegur, Koesalah melengos bahkan menghindar, keluar rumah, dengan alasan ada urusan. Hal itu kulaporkan kemudian kepada Pram. Ketika kusebut nama itu Pram seperti tersengat listrik. Tertawa ngakak, sampai ompongnya nglenyar. “Dia memang manusia hebat dalam soal tipu menipu. Pernah oleh teman-teman se-sel ia dilogok mulutnya dengan sandal jepit.”
Manakala kami ketemu lagi di ruang yang sama dan kutagih buku tentang para tahanan Tanah Merah dan Digul, karangan Chalid Salim, ia mengaku ketinggalan, padahal buku yang dipinjam olehnya itu kemudian dijual kepada atasanku dan aku disuruhnya membuat ringkasannya. Selang beberapa minggu kemudian atasanku mengabarkan bahwa manusia ajaib itu kena serangan jantung dan meninggal di rumah teman sesama tapol. Ia dikubur di Taman Pahlawan Kalibata, sesuai jatahnya sebagai veteran dan pejuang ’45, ketika ia menginjak usia duabelas tahun. Ia sungguh manusia ajaib.
Sesudah sakit prostat sekitar enam bulan dan sembuh bak keajaiban, ada kasus baru yang kuderita : beser. Kalau siang bukan masalah. Tapi kalau malam, busyet menganggu banget. Kurang tidur bikin kepala pusing, nafsu makan merosot, gairah kerja, terutama seks, kalau itu boleh dikategorikan demikian, sangat menyedihkan. Aku takut jadi impoten tanpa operasi. Bagiku itu bencana. Ketika Pram operasi prostatnya aku tidak hadir menengok, dan memang tidak tahu. Rumahku yang di Bekasi terlalu jauh kalau harus ke Bojonggede. Bukan itu saja, ongkosnya bikin mumet. Yang kutahu, namun waktu itu aku kurang memahami dan tidak kutanggapi serius. Istri Pram nyeletuk, “Mas Pram sih udahan dik Cus, udah memble...”
Ketika Koesalah kena bencana lelaki yang sama, aku sempat menengok di rumah sakit Fatmawati. Bahkan aku berinisiatif mencari dana di antara teman-temannya dan kenalan-kenalanku. Sambutannya luar biasa dingin. Sangat mengecewakan. Bahkan seorang bekas tokoh gerakan kemahasiswaan menegurku, “Bung jangan pakai dong yang beginian jadi tradisi. Kita-kita ini bukan lembaga sosial. Bung paham dong.”
Namun kedua kakakku itu tidak pernah mendongeng pengalamannya tentang operasi yang telah mereka lakukan itu. Tak sekecap pun . Kini aku butuh bantuan mengatasi beserku itu. Buku obat-obatan tradisional dan kuno tak membantu. Sanak saudara dan kenalan sempat kuminta nasehatnya enggak ada yang cemuwit. Lha kalau penyakit yang lebih parah bagaimana mengatasinya? Jelas…kuburan! Dan untukku sudah tersedia. Cuma dibatasi oleh tembok pekarangan setinggi dua meter. Di sana terletak kuburan baru. Kalau tahun ’80 duit dealku keluar, yang sebelumnya milik warga sekitar itu jadi milikku. Tanah sudah dilepas seharga satu setengah juta. Per meter waktu itu dihargai seribu rupiah. Batal kubeli karena duitnya diamplep bajingan tengik. Itu belum seberapa.
Pernah di masa duda kontemporeku aku yang ngebet ‘guling ajaib’ ditipu seorang kopral, yang menyodorkan gadis kenalannya. Aku dan Koesalah ngluruk sampai di Bagelen, bekas daerah pertahanan Pangeran Diponegoro tahun 1830-an. Pram bahkan nyangoni duit setengah juta berupa cek yang disembunyikan dalam rak bukunya yang kelihatan angker. Pram rupanya miring juga masalah ini. Singkat kata lamaran diterima tulus, tapi perkawinan batal demi hukum. Gadis itu hamil dan biangnya adalah sang kopral yang ngakunya bodyguardnya laksamana Soedomo. Ia digebuki proovoost teman-temannya sendiri dan ditahan dua minggu. Masih beruntung tak dipecat karena istrinya sudah dua dengan duabelas anak, calon generasi penerus. Bayi kemrecel terakhir akan menjadi yang ketigabelas.
Entah sudah berapa lama anak tunggalku yang mulai gemar berkebun menganjurkan supaya pohon pepaya wandu yang tumbuh di pekarangan belakang ditebang saja. Tak pernah kugubris. Bagiku itu kontra produktif. Buang tenaga tanpa hasil. Sedang pohon pepaya subur yang tak pernah keluar satu pentilpun itu kadang-kadang masih dimanfaatkan daunnya. Aku menolak tanpa bilang “tidak”. Dan anakku itu nekad seperti bapaknya yang sering mbambungan. Ketika kami santai di kebun, aku ditariknya, dipaksanya nebang pohon tak tahu malu itu. Tak bisa lain terpaksa kuturuti. Namun harus menebang pisang kluthuk dulu yang tumbuh dekatnya, supaya aku bisa ancik-ancik di atasnya. Sebab kalau langsung ditebang kemungkinan robohnya justru ngembruki rumah tetangga. Jadinya malah akan lebih tidak produktif lagi. Golok yang kupakai tanpa gagang pula. Golok itupun hasil temuan. Singkat peristiwa, ketika pohon pepaya itu roboh, aku terpengarah dan turut terjungkel ke bawah, walau tingginya kurang dari satu meter. Anakku terpengarah dengan wajah pucat pasi melihat aku terjerambab dan melenguk kesakitan. Bukan main sakitnya. Tak kurang setengah jam aku lenger-lenger, namun itulah ternyata obatnya. Sejak saat itu aku tidak beser lagi. Tak bisa ndongeng kenapa demikian.
Kalau Pram masih hidup akan kudongengi, tak usah operasi. Buang duit doang, apih sayang! (*)

Senin, 04 Juni 2012

Soesilo Toer "Menarik Garis Pada Level Ketidakwajaran"


MENARIK GARIS PADA LEVEL
K E T I D A K W A J A R A N
Soesilo Toer
Tulisan Bagian Pertama

Di kampung aku belajar ngaji sejak kecil. Tadinya hanya mendengarkan entah dari siapa mulanya. Suaranya mendayu-dayu, meratap penuh iba. Tapi jelas bukan dari bapak. Dan memang seumur hidup aku tidak pernah mendengar bapak mengaji. Ketika bapak meninggal aku mengaji di rumah tetangga. Di langgar. Enggak bayar. Bahkan kalau hapal sesuatu ayat dapat hadiah, jajan ndesa : gantilut, dumbeg, emput atau apa saja. Jadinya ya getol banget. Guru ngajinya Pak Irin, petani ngebon, yang bengkoangnya suka aku gangsir. Walau ketahuan tak pernah sewot, oleh tingkahku yang ‘begidasan’.
Ketika diboyong Pram ke Jakarta, oleh istrinya aku disuruh ngaji di madrasah dekat rumah. Katanya, wak haji adalah bapaknya kiper tim nasional Mauli Saelan. Tak pernah aku ngecek kebenarannya. Yang kuingat di sini aku panen raya, hampir tiap hari kena gebug mistar di telapak tanganku karena tuolol banget. Yang istimewa dapat zakat ‘bengkoyok’, sejenis penyakit kudis, mrintis berisi nanah berwarna keputihan. Kukira karena bangku-bangku tidak pernah dibersihkan selama tahunan. Sembuh setelah disuntik cairan, katanya ‘cortison’, sekalian minta keluar karena kapok.
Ketika dewasa aku belajar agama di Tanah Abang, di rumah haji Junaidi, bapaknya Mahbub Junaidi, tokoh teras ormas Islam di Jakarta. Pram tahu banget masalah ini. Makanya tak heran ketika pada suatu kali pertemuan, ia tanya penuh selidik, “Hebat kamu…kapan jadi Islam sejati?”
Dan aku tidak paham, enggak mudeng. Belum pernah selamanya aku dengar tes pemahaman semumet itu.
“Atau mau jadi Syeh sekalian. Kalau keturutan itu berarti kau mengalahkan embahmu Haji Ibrahim, penghulu Rembang. Hebat…,” pujinya.
Tentu aku berbunga-bunga walau hati kecilku mengkerut. Pasti ia bercanda. Ia tahu persis keadaanku yang sering masak nasi saja berasnya sering ngutang di warung. Tapi tidak, melihat roman mukanya yang tanpa ekspresi aku yakin ia serius. Belakangan ketika dewasa dan mulai jerawatan, aku jadi teringat masa lalu, ketika pada suatu kali Pram pisah ranjang dengan istrinya dan berakhir, seperti ia sendiri mengakui cerai tanpa bercerai, atau sering dikatakan sebaliknya bercerai tanpa cerai.
Sepengamatanku masa itu KUA belum berfungsi banget seperti sekarang. Bahkan tahun ’62 KTP juga belum berfungsi optimal. Mungkin karena itu umpatan atau makian ‘haram jadah’ terhadap anak yang lahir tanpa surat nikah medok banget di Jakarta. Cerita selanjutnya kan begini : Serius karena tak naik kelas aku bertekad belajar maksimal. Salah satu kiatku ngendon di rumah kakak ipar kontemporerku, tegasnya setengah bekas istrinya Pram. Ia tak  keberatan, bahkan setuju, maksudnya supaya aku bisa ngemong ponakan-ponakanku, yang jumlahnya tiga orang. Semua cewek. Kiat kedua, kami dengan teman-teman membentuk kelompok belajar bersama secara bergilir. Berjumlah empat orang. Semuanya cowok.
Kalau dengan sistem inipun aku tidak lulus, berarti benar putusan bapakku dulu di kampung, yang ndongkrokkan aku di kelas empat dua tahun karena dianggap gebleg. Dan aku sudah memutuskan jalan keluarnya : keliling nusantara dengan naik sepeda. Kebetulan waktu itu sedang ngetrend-ngetrendnya Melayu dilanda hobi keliling dunia jalan kaki. Yang paling berkesan tiga serangkai keliling dunia. Salah seorang di antaranya Lawalata, seingatku dari Sulawesi. Terdengar kabar kemudian bahwa salah seorang pengeliling dunia jalan itu sampai di Jerman dan digaet janda bule, pengusaha sapi perah. Cuma seorang yang sampai di markas PBB di New York. Tapi bagiku tidak penting lagi urusan jadi filsuf jalanan itu.
Suatu kali, ketika aku membersihkan perpustakaan Pram, aku menemukan segumpal surat lusuh tulisan Mbak Afrah, bekas istrinya Pram, yang tak jadi dikirimkan, diuwel-uwel dan dibuang. Waktu itu ia susah kerja di Bilangan Glodok, Jakarta Kota. Dalam konsep surat yang ngebet minta cerai itu tecantum kata Syeh. Tanya kepada bekas istrinya tentu saja tidak etis dan kurang ajar. Tanya sama Pram rasanya juga kebangetan. Bocoran kemudian kusadap dari anak pertama Pram, Ros, yang waktu itu sudah mulai belajar baca tulis. Aku juga yang disuruh menjemput dan mengantarkan sekolah Belanda di kampung di Jalan Kaji, Petojo Binatu. Tentu saja tidak mudah anak seumur itu, tapi aku ngebet banget. Dari berbagai bujuk rayu pernah terungkap mungkin dengan tak sengaja, anak semok ini berucap beberapa kali : “Edan harta.”
Dua kata itu kureka bagaikan pelajar ilmu spionase memecahkan sandi musuh. Tak penting bagiku benar atau salah Syeh adalah akronim. Dua kata akhir sudah terbuka artinya, tinggal dua kata depan. Sesudah puyeng sampai mblelek aku selesaikan sandi yang akronim tersebut. Yang bunyi lengkapnya adalah “Suami Yang Edan Harta”. Dan aku tak ingin menceritakan tentang diriku sendiri, yang pasti usahaku menjadi Islam sejati makin buram saja, apalagi sebagai predikat Haji dan Syeh yang mabrur. Barangkali kalau akronim yang kupecahkan itu benar rasanya kok memper. Soalnya Pram bersama istrinya itu penah tinggal ngontrak di Kebayoran Baru, yang waktu itu masih menjadi kawasan elit. Sekarang sudah tenggelam oleh perkembangan kawasan. Tapi kalau Syeh itu merupakan predikat, aku yang pertama akan mengacungkan jempol.
Tahun-tahun pertama aku tinggal di rumah Pram di Kober, aku dapat deal, obyekan. Berupa jadi guru. Murid pertama, satu-satunya dan terakhir adalah cang Ilyas, yang tak lain adalah mertua lelaki Pram sendiri. Tidak tahu kenapa aku yang dipilih, bukan Mbak Ies atau Mas Liek. Tak pusing aku, dan tak memikirkan berbagai alasan keputusan cang Ilyas, yang menurut pengamatanku sangat patuh atas keyakinannya. Jidatnya ngleyer, bersih dan tenang adem, menggambarkan jiwanya yang mantap tenang. Juga karena sering dibasuh. Usahanya jual berbagai kebutuhan pokok rumah tangga, termasuk kayu bakar. Kompor waktu itu belum ngetrend banget. Kadang aku juga disuruh belanja ke Tanah Abang Bukit. Disamping mendapat tambahan uang jajan mengajar, aku juga diupah setiap kali habis belanja. Ia pasti tahu kebiasaanku, di hari libur suka diajak anak-anak Betawi sekitar untuk memancing di empang-empang ikan mujaher di sepanjang kali Ancol subuh-subuh. Nikmat menyenangkan memang, tapi itu mencuri. Dia kuatir, aku sama sekali tidak tertangkap basah centengnya yang katanya terkenal beringas dan tanpa ampun.
Namun maling prof lebih licik. Subuh adalah jam-jam yang paling mengasyikkan ngorok dengan hembusan sepoi angin laut. Untuk mencegah aku hanyut terbawa arus lingkungan itulah caranya cang Ilyas, walau sekejap pun ia tidak cuap-cuap. Sungguh ia seorang pendidik, guru jadi murid yang baik. Pram sendiri beberapa kali berucap tentang fakta ini. Entah kok rasanya ia gagal mendidik anak perempuannya. Kenangan manis Pram itu sangat membekas karena semua kekurangan kebutuhan rumah tangga Pram terpenuhi tanpa repot-repot dengan cara mengutang ke warung mertuanya. Tak pernah ditagih dan tak pernah dicek cocok dengan besarnya utang atau tidak. Ini yang menyebabkan Afrah gemes, guondiek, kata orang Blora untuk menekankan gedenya kegemesan seseorang.
Mungkin kenangan manis sang mertua inilah kemudian ketika sang anak mantu terusir dan mengalami pasang surut dalam kehidupan rumah tangganya ia punya nadar untuk menghajikan sang mertua ke Tanah Suci. Tidak pernah dengar aku apakah istrinya Pram yang baru, Mimin, jadi sewot dan gemes oleh rencana mulia yang gila tersebut. Yang jadi fakta Pram gagal menghaji-mabrurkan bekas mertuanya. Keburu meninggal karena kangker paru-paru. Mertuanya itu perokok berat daun kaung. Rokok kegemaram Betawi Orak, walau setahuku mertua Pam adalah keturunan Badui Luar, Banten, yang dikenal, katanya, sebagai pengikut yang patuh.
Sebagai tambahan Banten adalah daerah wewenang Dauwes Dekker, semasa masih dinas. Dan dari sinilah ia yang bernama samaran Multatuli, mengangkat praktek kekejaman kolonialisme Belanda ke dunia internasional dalam drama percintaan terselubung Saijah dan Adinda yang menggetarkan hati banyak pembaca. Termasuk Lenin, sang tokoh Revolusi Oktober turut memberikan komentarnya, agar kekejaman kolonialisme itu menjadi bukti suatu kekuasaan yang kejam, tidak adil, tidak manusiawi dan harus dihancurkan dengan cara revolusi.
Pram sendiri beberapa kali mengaku Multatuli sebagai salah seorang guru sepiritualnya. Sebagai rasa solidaritas yang tulus atas nasib saudara setanah airnya yang tertindas oleh kekejaman kekuasaan, ketika pemerintah ORLA mendirikan Departemen Petera, Departemen Pengerahan Tenaga Rakyat, sekitar tahun ’55-’58, Pram salah seorang yang getol untuk membangun kawasan Banten, terutama daerah Malingping sebagai proyek percontohan. Kelihatannya proyek itu gagal, walau Pram berhasil menulis ‘Sekali Peristiwa di Banten Selatan’. Tentu kegagalan itu bukan semata karena Pram bukan ekonom yang memahami tentang pembangunan kawasan tertinggal.
Waktu itu problem dan pemecahan masalah seperti itu belum berkembang. Kegagalan terutama adalah kelihatannya pemerintah kurang serius dan sungguh-sungguh. Salah satu indikasinya relawan yang berjubel dan berminat untuk proyek tersebut, termasuk aku, kurang mendapat respon, bahkan departemen itu sendiri kemudian juga bubar. Kalau dokumen dadakan itu terpelihara, pasti tercatat namaku. Aku belum lagi pikun, departemen itu terletak di daerah Cikini, tidak jauh dari sebuah show room mobil yang sekitar tahun 1954 pernah diberondong dengan bren oleh bridage 17 TRIP, yang bermarkas di Jalan Raden Saleh, sekitar satu setengah kilometer Depatermen Petera. Masalah latar belakang terjadinya insiden tersebut aku kurang paham. Hal itu kudengar dari salah seorang tokoh peristiwa tersebut, yang waktu itu bekerja di Jalan Madura, di mana aku sendiri pernah bekerja.
Justru keberhasilan pembangunan kawasan boleh dikata sukses ketika modal Uni Soviet turut berkiprah di negeri ini. Mereka yang sudah kenyang makan garam dalam masalah pembangunan kawasan menunjuk Cilegon Banten sebagai pusat studi pengembangannya, dengan membangun tanur baja pertama di sana. Mereka memproyeksikan Cilegon sebagai mata pusaran untuk pembangunan kawasan Jawa Barat dan Sumatera bagian Selatan. Prediksi itu terbukti benar walau pembangunan Cilegon mengalami pasang surut. Buktinya sekarang Propinsi Banten menurut data statistik, kalau BPS tidak berorientasi ABS, merupakan kawasan industri yang paling berkembang di Indonesia, mengungguli propinisi metropolitan.
Pram gagal menghajikan bekas mertuanya. Sebagai pelipur lara ia membiayai istri barunya ke tanah suci. Tak tahu, apakah Pram berkeinginan menghajikan orang tuanya atau tidak. Yang kutahu tugas penuh berkah dan rahmat itu diemban oleh Soesatyo, adik Pram terkecil, yang lolos dari tangan-tangan usil kekuasaan. Namun sudah empat tahun terakhir ini ia tergolek di tempat tidur, seperti laiknya krangrang merah telanjang bulat sepanjang hari karena kena stroke. Kurasa usus dan waduknya, yang terbiasa terisi dedaunan desa diubah polanya menjadi serba lemak dan daging, nasi kebuli dan kopi-madu ala negeri padang pasir. Tak ada yang bisa menolong, termasuk dirinya. Untung ia punya istri dan ipar ponakan yang setia dan tabah. Kalau tidak aku yakin sudah ketemu kakak tertuanya di alam misteri. Entah kalau di sana pun keadaannya sama dengan di dunia nyata kita ini. Kalau tidak, ada kemungkinan si bungsu ini bakal kena hajar untuk yang kedua kali.
Tapol lain yang juga dikembalikan dari Buru adalah tokoh lumayan gede. Berita yang beredar adalah wakil ketua Ikatan Dokter Indonesia, dokter Ashar Sosromunandar. Orang cukup keker. Senyumnya unik dengan alis tebal yang sudah bercampur uban. Dan justru di situ bagiku yang bikin kangen dan susah melupakan. Dalam lingkungan tahanan ia selalu pakai celana dalam komprang yang sudah terkontaminasi dengan berbagai cairan, walau kegiatannya sepanjang yang kutahu adalah mencuci sandangnya sendiri. Baru kalau ia dinas pengobatan para tapol pakai pakaian lain. Kala itulah kelihatan klimis dan ketokohannya yang menonjol. Itu dilengkapi dengan kacamatanya tebal dan jalannya yang berat sedikit, sedikit saja ngegang. Beda dengan langkah bung Karno yang kentara banget. Wajah bung Karno sempurna, kalau pak dokter ini agak mblelek dan berbau kampungan. Dan ia dua kali beruntung, pertama laku kawin, dan kedua keluarganya tetap setia, juga anak-anaknya yang kulihat sering mbezuk dengan kiriman seabrek.
Aku sendiri minta agar keluarga sedikit mungkin bezuk mengingat keadaanku yang ngere. Juga karena posisiku sebagai pencuci piring cukup membuat diriku tak pernah kekurangan jaminan. Namun akibatnya fatal. Berat badanku naik. Celana dan dan baju di alam bebas seperti sesak dan menyempit. Hal yang terasa ganjil adalah saat duduk bersila, perut seperti menekan dubur. Sesak dan menyesakkan. Bukan itu saja, terasa ada sesuatu yang mengganjal di sana. Tadinya kukira cuwilan e’ek yang nyangkut, eh ternyata bukan. Kurasa daging tumbuh, mengingat kalau tersenggol terasa sengkring-sengkring. Makin hari makin gatal dan perih. Akhirnya suatu kali ketika aku ke belakang e’ekku yang mantap gede dilamuri dengan merah segar, darah!
Aku gendadapan, blingsatan, kebingungan. Tak ada yang harus kutumpahkan kegalauan hatiku, kecuali kepada sang mblelek. Dan nasehatnya justru sangat mengagetkan, “Puasa aja, Bung!”
Gila sahutku dalam hati. Sudah ditahan, sudah kehilangan beraksi, disuruh puasa. Apa enggak pembodohan namanya. Dan lagi pendapatku, ditahan itu bukan cuma puasa, itu tirakat gede-gedean. Puasa menurutku prinsipnya cuma memindahkan dari makan siang menjadi makan malam. Ditahan dengan istilah tirakat jauh mengungguli puasa. Makanya nasehat yang kunilai kebangetan itu sangat mengecewakan hatiku. Namun mau apa, kukira nasehatnya itupun asal bunyi, karena secara naluri ia toh juga tersiksa. Kebebasannya diberangus. Dan kalau melihat lamanya, ia jauh mengungguli diriku.
Orang bilang perkawinan adalah cara memberangus diri sendiri, tapi ditahan adalah pemberangusan pribadi dengan todongan senjata. Jadi intinya jauh berbeda. Kukiran, dan ini menurutku paling valid, siksaan orang ditahan bukannya perihnya hentakan fisik tapi adalah perihnya hentakan batin, naluri seks. Pengalamanku sendiri membuktikan bahwa ketidaklancaran metabolisme kegiatan jorok yang ngangeni dan membius itu sangat fatal. Tidak lancar berarti gangguan menghumbalang seluruh aktifitas ke luar dan ke dalam. Sebaliknya kelancaran menimbulkan efek serba positif.
Pernah kubaca, atau kudengar. Mungkin kudengar karena membaca bagiku adalah bukan kegiatan yang intens tetapi insidentil saja. Bahwa kelancaran metabolisme seks yang berhasil, menimbulkan efek-efek prestasi yang mengejutkan baik dalam bidang studi, sport maupun kegiatan yang mempergunakan kerja otak. Pokoknya ia memberi stimul ajaib. Lhah kalau kebebasan kita terjerat dengan jeruji besi apakah itu bukan bencana?
Bukan itu saja. Hal itu mendorong langsung pada kejiwaan dan mental. Tapi juga timbulnya berbagai penyakit psikis. Lebih parah lagi bahwa sebagian besar lelaki di atas empatpuluh tahun terancam terkena penyakit prostat, penyempitan pembuluh saluran kencing, akibat kekuranglancaran hubungan rumah tangga. Jadi bagi tapol-tapol yang tidak bisa penyaluran hobi yang bikin ketagihan ini sama saja dengan menantikan bencana.
Bukti penelitian ngawur ini bisa kutemukan atas bencana kami sendiri. Pram yang paling lama pernah mengalami ditahan, kena prostat paling dulu. Koesalah, juga setali tiga uang. Karena ia mencoba menghindar dengan memaksakan diri, bencana laki-laki itu ditambah bonus sakit hernia, atau istilah joroknya kondor. Terakhir aku yang tirakat sekitar enam tahun dapat anugerah dua sertifikat juga. Cuma hanya berkat mukjizat saja aku lepas dari bencana kaum lelaki ini tanpa operasi.
Dongengnya begini : Suatu kali di pagi dalam keadaan gerimis tanpa sarapan dan minum air putih hangat aku ke kebon, mencangkul. Waktu itu baru panen alang-alang. Aku diliputi oleh nafsu merombak kebon warisan orang tua itu dari bero menjadi hijau. Singkat kata ngebut. Pulangnya aku demam dan minum dua pil anti pilek. Meriangku kurang, tapi jadi beser. Temponya makin sering dan suatu saat aku kepingin pipis. Tak keluar air. Tombak tumpulku sakit, perih dan tegang. Kunanti, kupaksa, kuhentakkan, sia-sia. Aku kalut dan kesakitan. Jalan keluarnya aku pergi ke dokter terdekat, sesuatu yang bagiku langkah mewah. Tapi terpaksa. Sebab aku sudah yakin dengan sindiran publik yang berbau mencemooh diri sendiri itu, orang miskin dilarang sakit. Dokter yang isunya pernah ngobati gendruwo kesasar itu bilang, aku kena penyakit radang kandung kemih. Obat diberikan dan aku pulang.
Aku sempatkan mampir ke pangkalan pengobatan alternatif tak jauh dari dokter dengan predikat sumpah Hipocrates tadi. Sang tokoh pengobatan alternatif, yang bertampang dukun itu memandangku seadanya dan keluar hipotesis: “Bapak kena gejala sakit gula.”
Ia mendongeng panjang lebar akan membuat ramuan Aceh, Dayak dan Kubu. Ia meyakinkan aku akan sembuh dalam trempo beberapa jam dengan harga tigaprapat juta. Pringisan kesakitan yang kuderita tak digubrisnya. Dan aku potong sebelum ia habis ceramah, bahwa aku tak mampu. Aku katakan bekas tapol dan pulang kampung jadi buruh nyangkul. Ia seperti mendelik kaget dan membanting harga menjadi sepuluh ribu untuk konsultasi yang serta merta kubayar dan segera aku minggat dari hadapannya.
Namun sesudah minum obat dokter pemerintah itu rasa sakit bukan berkurang, malah tambah parah dan aku kembali ke dokter minta disuntik penawar sakit. Rasanya aku belum disuntik. Barangkali ia belum biasa praktek nyuntik, tapi bilangnya sudah. Dan aku bayar sesuai tarip. Sakit makin tak tertahankan, tak tahu jalan keluar, mau nangis, sakit mangalahkan air mataku. Aku pringisan, istri kebingungan, blingsatan tak tahu apa yang diperbuat. Tetangga sebelah yang dari semula tahu penderitaanku menganjurkan aku ke dokter spesialis dan aku turuti dengan becak. Semula aku naik sepeda. Tadinya aku pakai pantolan, sekarang pakai sarung ala santri. Kupikir lebih praktis dan cepat bila ada sesuatu yang diperlukan mendadak. Tampak agak jauh, sedang pengendara becak sepertinya keliren, atau sengaja seperti seolah rumah dokter itu jauh, maksudnya supaya dapat imbalan yang sesuai seleranya.
Dokter cepat menangani, pasien lain yang lebih dulu dikesampingkan. Dan aku digarap. Selang yang ia pasang dalam pembicaraan dengan perawat dua digit lebih rendah dari yang seharusnya. Namun harus dipasang demi pasien. Dalam tempo kurang dari lima menit, kantong urine penuh. Sakit, nyeri dan tegang mengendor. Aku bersyukur, dan lebih bersyukur lagi ketika ia menyodorkan tarip sebesar tigaratus lima puluh ribu. Maksudnya, bahwa istriku mampu membayar, karena aku tak tahu persis dari mana ia mendadak punya duit segede itu.
Pulang naik becak aku sudah pringisan dengan para tetangga yang kebetulan melihat, dengan mengempit kantong kemih dan selang berjuntai dari balik sarung. Waktu itu hari sudah sore dan menjelang maghrib ketika aku buang besar dan ngeden, selang copot dan terburai. Segala plester dan segala yang dipakai untuk memperkuat kemapanan selang yang dipasang tidak berfungsi. Dan aku balik naik becak ke dokter spesialis, yang pengakuannya berasal dari tempat kelahirannya tokoh Boedi Oetomo, dokter Soetomo, tapi nyambung hidup dengan buka praktek di kota, yang dokter Soetomo pernah juga dapat tugas sebagai dokter Gubernemen. Bedanya dokter Soetomo menemukan jodoh di situ, dokter spsesialis ini sudah seabrek dengan produk ‘kiih raos’ ala urang Bandung teak. Dan malam itu nyawaku tertunda dicabut dan tidur bak tanpa nyawa, sangat pulas…( b e r s a m b u n g )

Seribu Wajah Pram Dalam Kata


SERIBU WAJAH PRAM DALAM KATA
Soesilo Toer

Aku bukan terdakwa, tetapi mengaku bahwa tahu istilah katralogfi PAT sesudah membaca ‘Tempo’ 8-14 Mei 2006, usulan Apsanti Djokosujatmo, dosen Fakultas Ilmu Budaya UI. Dan aku menilai sah-sah saja kalau ada pendapat yang mengatakan Pram meninggalkan kita dengan perasaan damai karena telah menunaikan tugas dunianya dengan semaksimal mungkin, memberikan seluruh pengetahuan dan hidupnya bagi bangsanya.
Itu kalau dilihat dari sudut nama. Pram punya embel-embel Toer. Sedang Toer adalah nama bapaknya sekaligus juga akronim. Pencipta akronim adalah Toer itu sendiri. Kalau ditulis lengkap berbunyi “Tansah Ora Enak Rasane”. Aku jadi ragu apa Pram di dunia sana juga tetap gelisah dan selalu Tansah Ora Enak Rasane?
Pada acara seratus hari meninggalnya PAT di gedung milik Kedutaan Jerman di daerah Menteng Jakarta tahun 2006, dimeriahkan dengan peluncuran buku “Pram Dari Dekat Sekali”. Dalam kesempatan itu Oey Hay Djoen, yang notabene adalah sahabat karib Pram, melontarkan uneg-unegnya bahwa Pram adalah biang pelit. Padahal PAT jadi ternama dan kaya berkat bantuan banyak pihak, terutama bekas tapol pulau Buru. Seperti diketahui OHD adalah tapol nomor satu, sedangkan PAT nomor tujuh.
Namun saksi lain melengkapi uneg-uneg sang sahabat dengan berbisik-bisik di sebuah sudut ruangan. Ia menyaksikan pada suatu ketika Pram hanya punya celana pendek tunggal dari karung goni yang sedang dipakainya. Bisa dibayangkan, lha kalau celana itu pun harus diikhlaskan demi membela martabatnya sebagai manusia, bagaimana ia harus sembunyikan ‘lele dumbo’nya yang katanya sedang kena flu? Berobat ke ‘on clinic’ lebih mustahil lagi. Sang dumbo tetap sakit sampai PAT meninggalkan OHD selamanya. Entah sekarang, karena keduanya telah sma-sama di dunia maya. Moga-moga saja mereka tidak lagi debat di sana.
Lain lagi pernyataan Bandelan Aminudin dkk. Pram adalah mata pusaran keluarga, pusat dan pengayom keluarga besar Toer. Ia pemurah, tapi keras. Adik lelaki terkecil Pram, Soesatyo, pernah ditempeleng karena mbolos dari tugas kliping yang diberikan kepadanya. Ia menghardik, “… Di Vietnam hujan peluru, kau… hujan air saja takut, malu aku jadi kau!”
Ziarah kubur Pram terakhir di Blora tahun 2006. Ia perintah supaya aku memasang keramik seputar makam keluarga di Sasono Lalis, Kunden Blora. Ada beberapa nisan di situ antara lain atas nama Toer, bapak, Saidah, ibu, Koen dan Susanti, adik perempuan, termasuk mbah Satimah, tokoh buku Pram ‘Gadis Pantai’. Ia juga menyuruh memasang vas porselen dengan bunganya sekali. Penjaga makam diupahi supaya menjaga kelestariannya. Mungkin itu cara Pram menunjukkan perhatian kepada keluarga yang sudah terlebih dahulu pergi. Semua aku kerjakan sesuai perintah, kecuali pasang keramik. Hari berikutnya Pram dan keluarga kembali ke Jakarta dan mampir ke makam. Semua utuh seperti sebelumnya, kecuali seluruh vas kembangnya. Pram menggeleng-geleng berat. Barangkali hatinya miris. Tapi tidak menangis. Yah yuma vas kembang. Bukankah itu sejenis perhatian?
Menurutku Pram bukan lelaki romantis. Tetapi pencemburu. Sekali aku menginap di rumah barunya Bojong Gede, Bogor. Aku diperintah tidur di kamar atas, berhadapan dengan kamarnya sendiri. Aku ogah dan memilih tidur di karpet di lantai dasar. Besoknya ketika bangun pagi aku didiamkan, tidak ditegur dan tidak diajak sarapan. Mungkin itu cara Pram memamerkan kesetiaannya kepada keluarga. Ia memang mengatakan di rumah ia milik keluarga. Di luar ia milik siapa saja. (*)