Rabu, 30 Mei 2012

Pram di Kampungnya Blora

PRAMOEDYA DI KAMPUNGNYA BLORA

Perpustakaan PATABA mengajak warga Blora untuk mengenang Pramoedya Ananta Toer dengan cara yang cerdas. Soesilo Toer penanggung jawab Perpustakaan PATABA berharap warga Blora dapat mengungkapkan kenangannya bersama kakaknya itu dalam bentuk tulisan. Menurutnya banyak sekali peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan Pram yang belum diketahui oleh publik. Beberapa tokoh Blora, pernah mengungkapkan secara lisan peristiwa-peristiwa menarik saat mereka itu berinteraksi langsung dengan Pram.
Ketika memperingati 6 tahun meninggalnya Pram, akhir bulan April 2012, Perpustakaan PATABA menyelenggarakan bedah buku tentang Pram. Salah satu buku yang dibedah adalah ‘Pram Melawan’ tulisan P.Hasudungan Sirait dan kawan-kawannya. Buku itu memberi inspirasi Pak Sus, panggilan akrabnya. Menurutnya buku itu paling lengkap membahas tentang Pram, namun juga paling banyak salahnya. Pak Sus ingin menyampaikan opini, sehingga bisa memberikan informasi yang benar kepada publik tentang Pram dan dirinya.
Dari ide awal itu kemudian berkembang. Akan lebih bagus jika masyarakat Blora, kampung halaman Pram, dilibatkan dalam membangun gagasan tersebut. Apalagi setelah Pak Sus membaca tulisan anaknya sendiri, Benee Santoso yang menuangkan kesan paling mendalam saat perjumpaan terakhirnya dengan Pram. Tulisan itu dimuat di salah satu tabloid lokal Pati.
Karena perpustakan PATABA bersifat swadaya dan nirlaba, maka kumpulan tulisan itu nanti akan diterbitkan secara swadaya pula. Hal ini sejalan dengan misi Perpustakaan PATABA, membangun masyarakat Indonesia gemar membaca dan mampu menulis. Buku itu diharapkan mampu menambah informasi tentang Pram, oleh orang-orang yang pernah berinteraksi dengannya. Tentu kesan itu bisa jadi umum atau bahkan sangat personal. Justru itulah nilai lebihnya.
Pak Sus menginginkan, Pram bukan menjadi menara gading, tinggi tak terjangkau. Hanya orang-orang tertentu yang mampu menyentuhnya. Pak Sus ingin Pram lebih membumi di tanah kelahirannya sendiri Blora. Menurutnya masih banyak warga Blora yang belum tahu atau tidak tahu, bahkan mungkin tidak mau tahu siapa Pram. Yang lebih parah adalah yang pura-pura tidak tahu, karena mengenal Pram dianggapnya tidak ada untungnya sama sekali. Mungkin mereka juga dihinggapi oleh phobia akronim dari nama Toer, ‘Tansah Ora Enak Rasane’. Segala hal yang ada kaitannya dengan Toer dan yang melingkupinya dianggap serba tidak mengenakkan.
Namun yang lebih utama bagi Pak Sus, partisipasi warga Blora dalam menyumbangkan tulisan tersebut. Tulisan dapat diserahkan langsung ke Perpustakaan PATABA, Jl. Sumbawa 40 Jetis Blora, rumah masa kecil Pram. Atau bisa juga melalui email : pataba.blora@yahoo.co.id. Pak Sus akan menerima semua tulisan, tanpa dibatasi bentuk, tema, halaman, yang diketik atau ditulis tangan. Diharapkan semua tulisan dilampiri fotocopy identitas penulisnya. 

Rabu, 16 Mei 2012

Nonton Konser II " Rock Siang Bolong Setengah Gila "


NONTON KONSER II
“ Rock Siang Bolong Setengah Gila “
Hermawan Widodo

Budi Suryanto adalah salah satu punggawa Cabioma (Cah Biologi SMA5) yang keranjingan musik rock. Rumahnya berada nun jauh di Siluk, lereng perbukitan Panggang, masih sekitar 10 Km sebelah selatan Imogiri tempat makam raja-raja Jogja dan Solo. Meski jauh dari kota, namun untuk urusan musik rock dia tak pernah ketinggalan.
Di rumahnya pinggir sungai Opak itu, banyak ditempeli poster musisi rock tenar. Poster ukuran standar Gun&Roses, Def Leppard, Skid Row, Van Hallen dan sebagainya memenuhi dinding kamarnya. Karena rumahnya di Siluk dan dia adalah satu-satunya anak Siluk, maka kami memanggilnya dengan Siloek.
Kecintaan kepada musik rock, selain menempeli dinding kamarnya dengan berbagai poster, dia juga mengoleksi banyak kaset dari musisi tersebut. Ekspresi kecintaan pada musik rock itu secara formal juga ditunjukkan di sekolah. Saat harus tampil ke depan untuk menyanyi, dia pasti menyanyikan lagu rock. Yang saya ingat dia pasti menyanyikan lagunya Nicky Astria, lady rocker nomer satu Indonesia.
Pada hari Sabtu dia mengajak saya nonton konser musik rock di Mandala Krida. Dua tiket sudah dia pegang dan ditunjukkan kepada saya. Di tiket itu tertulis konser dimulai jam 2 siang. Dia bilang akan menghampiri saya ke rumah Kepuh. Saya membayangkan, kalau harus pulang dulu ke Siluk, apa tidak kecapaian. Ternyata Siloek pulang ke rumah salah satu saudaranya di Umbulharjo, dekat terminal induk Jogjakarta.
Hari sabtu seperti biasa jam 12.45 sekolah bubar. Saya tidak naik motor, namun ngontel sepeda pulang ke rumah. Waktu masih kelas II, saya belum naik motor, masih mengandalkan sepeda balap lungsuran dari Mbak Jazim. Baru saat kelas III saya naik motor Honda Supercup 80, bergantian dengan bapak. Kalau saya yang bawa, bapak saya anter ke kantor dulu, dan sorenya saya jemput.
Jam setengah dua saya sampai rumah. Setelah bersih-bersih dan makan, jam dua tepat, Siloek sudah sampai di rumah saya. Waktu itu udara masih terasa panas. Hanya berpakain kaos oblong dan celana jeans, saya gonceng Siloek di atas motor Suzuki RC100 andalannya. Mandala Krida tidak begitu jauh dari rumah. Sekitar 15 menit sudah sampai area parkir stadion bola andalan Jogjakarta itu.
Meskipun di tiket tertulis konser dimulai jam 2 siang, ternyata sudah mendekati jam setengah tiga pintu masuk belum dibuka. Saya dan Siloek menunggu di pelataran stadion. Sambil menunggu saya dan Siloek jajan es dan beberapa cemilan dari warung yang ada di sekitar stadion.
Baru sekitar jam 4 sore pintu dibuka. Saya dan Siloek masuk stadion dan mencari tempat duduk di tribun atas. Panggung nampak jelas dari tempat kami duduk, meskipun agak jauh. Di panggung masih nampak aktifitas cek sound. Nampak Arthur Kaunang sibuk melakukan cek sound bas gitarnya. Setelah dia turun, sekitar jam setengah lima sore konser musik baru dimulai, molor hampir tiga jam dari rencana jam 2 siang.
 Banyak kelompok musik yang tampil di panggung itu. Setiap kelompok tampil sekitar 1 jam. Ada 6 hingga 8 lagu dimainkan oleh setiap penampil. Saya tidak ingat nama-nama grup musik sangar itu. Yang tersisa di memori saya adalah kelompok yang bernama Sharkleer, Java Box dan SKE.
Nama-nama yang hanya saya dengar di panggung itu, setelahnya saya tidak pernah mendengarnya lagi. Lagu-lagu yang dinyanyikan umumnya milik Deep Purple, Led Zeppelin, Van Hallen, Yes dan yang lain. Umumnya lagu yang sudah sangat popular yang diusung mereka, semacam Dream milik Van Hallen, Highway Starnya Deep Purple dan Changes andalan Yes. Ada lagu yang dimainkan lagi oleh grup berbeda di panggung yang sama. Lagu yang dimainkan lebih dari sekali adalah Highway Star.
Setiap grup yang tampil, tingkah vokalisnya hampir sama. Setiap ganti lagu, selalu nenggak vodka. Dia menyanyi sambil lari-lari, teriak-teriak, jingkrak-jingkrak, dan nenggak vodka.
Penonton yang berdiri di depan panggung juga nampak ikut jingkrak-jingkrak. Siloek yang duduk di tribun mengajak saya turun ikut bergabung dengan penonton di depan panggung. Saya tidak mau. Ngeri juga melihat mereka jondhal-jondhil tidak karuan seperti itu. Dalam kondisi begitu saya yakin mereka tidak terkontrol. Melihat yang menyanyi mendem, saya yakin penonton yang melihatnya juga sambil mendem. Orang-orang mendem berkerumunan bersama, dalam suasana riuh, pasti rawan rusuh. Saya lebih baik menghindari potensi itu.
Siloek tidak jadi turun bergabung dengan orang-orang mendem itu. Argumentasi saya cukup meyakinkan dia untuk tidak mengambil sikap bodoh seperti mereka yang mendem itu. Jadi saya dan Siloek cukup menggerakkan kaki dan tangan sambil tetap duduk di tribun.
Saat itu sudah mendekati jam 11 malam. Hawa dingin sudah mulai terasa sejak jam sepuluh. Celakanya kami berdua sama sekali tidak membawa bekal cemilan. Kami sejak jam setengah lima, murni hanya menikmati sajian musik tanpa sajian yang lain. Penyakit kedinginan mulai menyerang saya. Saya yang hanya memakai kaos oblong saja jelas terkena dampak langsung dari hawa dingin itu. Siloek yang memakai jaket jeans agak terbantu. Namun dia bilang masih merasakan dingin.
Sebagai penampil terakhir SAS kelompok rock veteran seangkatan Godbless muncul di panggung. Grup yang digawangi Sunata Tanjung pada gitar, Arthur Kaunang pada bas dan vokal, serta Syekh Abidin yang menggebuk drum itu tampil sekitar satu jam hingga pas jam 12 tengah malam. SAS membawakan lagu-lagunya sendiri, bukan lagu rock manca yang sudah digelontorkan oleh musisi sebelumnya dari sejak setengah hari tadi. Karena saya tidak begitu familiar dengan lagu-lagu SAS, maka saat Arthur Kaunang menyanyi saya tidak begitu ngeh.
Saya hanya merasakan penampilan SAS berbeda dengan grup sebelumnya. SAS tidak banyak tingkah. Tidak lari ke sana ke mari. Mereka sudah nampak dewasa banget. Bermain lebih mengutamakan skill bermusik dari pada tingkahnya. Arthur Kaunang meskipun wajahnya sangar, namun suaranya empuk. Dia juga tidak nenggak vodka setiap selesai menyelesaikan  satu lagu. Saya hanya ingat satu lagu yang diucapkan Arthur Kaunang sebelum dinyanyikan, kalau tidak salah Body Rock. Tetapi lagu itu belum pernah saya dengar sebelumnya.
Penampilan mereka meskipun meriah namun tidak mampu mengusir rasa dingin yang menyergap tubuh saya. Jam 12 tepat konser ditutup. Lampu stadion dinyalakan. Seluruh stadion terasa terang benderang, meskipun tersaput kabut.
Saya dan Siloek turun dari tribun. Menunggu beberapa saat untuk menghindari kerumunan penonton yang mau keluar. Setelah keluar, saya dan Siloek menuju tempat parkir motor. Saya terus bersedakep untuk menahan hawa dingin. Gigi saya sudah bergerutuk sangking dinginnya.
Siloek mengambil mantel dari bawah jok, padahal sama sekali tidak hujan. Saya tidak paham maksudnya. Begitu dibuka, kemudian dia pakai mantel itu.
Dia bilang, “Untuk menghadang angin malam.”
Saya pikir dengan memakai mantel bisa mengurangi dingin. Namun ternyata sama saja. Meski saya sudah di dalam mantel, hawa dingin itu masih menyertai. Di belakang Siloek, saya terus bekah-bekuh menahan dingin. Siloek terus mengarahkan motornya ke selatan. Saya membayangkan jika Siloek harus kembali pulang ke Siluk tengah malam seperti ini apa ya berani.
Ternyata dia mengajak saya pulang ke rumah saudaranya di Umbulharjo. Saya dan Siloek tidur di rumah itu. Baru sekitar jam 7 pagi setelah mendapatkan sarapan kami berdua pulang. Siloek menurunkan saya di rumah Kepuh. Dia tidak masuk rumah dulu namun langsung pulang ke Siluk menempuh perjalanan sekitar 30km lagi dari rumah saya.
Pengalaman kedinginan saat nonton konser saya ulangi saat saya Gombloh manggung di Kaliurang. Awaludin Suhono anak Ngipik dekat sekolah SMP, selepas Isya’ tiba-tiba tanpa memberi kabar apapun datang ke rumah saya di Kepuh. Tidak perlu basa-basi dia langsung ngajak pergi.
Saat saya Tanya, “Mau ke mana?”
Dijawab dengan cepat, “Kaliurang!”
Saya heran, malam-malam ngajak ke Kaliurang. Saat saya desak ada acara apa di Kaliurang, dia bilang lihat Gombloh. Berbekal uang ala kadarnya dan merangkapi kaus saya dengan jaket tipis, saya pamitan ibu dan nggonceng Udin. Dia memakai jaket kulit hitam. Tanpa helm kami berangkat mengendarai Honda Astrea 800 hitam miliknya.
Jalanan menuju Kaliurang setelah lewat selokan Mataram, tidak begitu ramai. Udin memacu motornya dengan lumayan kencang. Saya yang di belakang kadang harus memejamkan mata untuk menghindari terjangan angin. Masuk daerah Mbesi hawa dingin sudah mulai masuk kulit. Jaket tipis saya tidak mampu menahannya. Karena jaketnya lumayan tebal, Udin mungkin belum terasa dingin meskipun dia di depan.
Memasuki Pakem, hawa semakin dingin. Sampai di Kaliurang tingkat kedinginan sudah lumayan sampai menembus tulang. Kami menuju ke lokasi konser di area perkemahan. Setelah menitipkan motor di parkiran dadakan, saya dan Udin berjalan mendekat ke panggung. Ternyata sudah banyak orang berkerumun di situ.
Udin mengajak untuk mencari tempat lain. Kami naik ke bukit. Lumayan tinggi kami mendaki. Setelah mendapatkan posisi yang nyaman kami duduk di samping pohon. Dari kami duduk, pojok panggung terlihat jelas, meski agak jauh.
Jam 8.00 malam acara dimulai. Penyanyi pertama muncul adalah Ebiet G Ade. Dia menyanyi sambil duduk di kursi dengan gitar akustik. Beberapa lagu dia nyanyikan. Saya tidak ingat persis lagunya apa saja. Yang jelas lagu “Untuk Sebuah Nama” dinyanyikan bersama-sama dengan penonton. Ebiet mampu mengajak penonton larut dengan lagu-lagunya.
Terus terang saya kurang bisa menikmati konser. Saya terganggu oleh hawa dingin yang menusuk. Hawa dingin itu tidak dapat diusir dengan yang hangat-hangat. Posisi saya dan Udin lumayan tinggi di lereng bukit, sehingga tidak mungkin ada asongan yang lewat menawarkan teh panas atau kopi. Jadi saya lebih berkonsentrasi dengan bergerak-gerak sendiri mengusir hawa dingin.
Tak terasa tampilan Ebiet sudah usai, yang disusul kemudian oleh munculnya Gombloh di panggung. Dengan pakaian khas, kaos lengan panjang dibalut rompi, kepala ditutupi topi, dan berkaca mata. Saya tidak bisa memastikan kaca mata itu hitam atau coklat. Gombloh juga menenteng gitar akustik. Saat memulai dialog dengan penonton Gombloh minta maaf karena tidak membawa pengiring, maka dia akan tampil dengan iringan musik minus one. Saya juga tidak begitu banyak paham lagu-lagu Gombloh. Yang sering saya dengar adalah lagu Kebyar-Kebyar. Kaset itulah yang sering saya lihat di rumahnya Agus Kepuh Kidul.
Ketika Gombloh manggung di Kaliurang itu, bukan lagi era lagu Kebyar-Kebayar. Gombloh sudah bergeser, dari lagu-lagu yang idealis dan berbobot tinggi  ke lagu-lagu pop yang pro pasar. Gombloh saat itu sudah populer dengan Apel dan Setengah Gila. Album Apel dan Setengah Gila itulah yang menjadikan Gombloh berkucukupan materi. Saat masih mengandalkan patriotisme dan kecintaan kepada alam, Gombloh kurang mendapatkan penghargaan.
Justru saat Gombloh sudah mati, muncul Setiawan Djodi yang mengangkat SWAMI tanpa mempedulikan pasar. Dia mampu mendikte pasar untuk mendengarkan lagu-lagu SWAMI yang tidak umum di pasaran pada masa itu. Lagu-lagu pedas dengan tema kritik sosial yang keras dan musik yang garang dapat diterima oleh pendengar musik Indonesia, yang cukup lama terlenakan dengan lagu pop cengeng mendayu. Seandainya Setiawan Djodi mau turun tangan sejak awal tahun ’80 mungkin Gombloh tidak harus menjual Apel hingga menjadi Setengah Gila untuk sekedar memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya sebagai seniman. 
Gombloh dengan iringan musik minus one, menyanyikan lagu-lagu Apel, Setengah Gila dan yang lain. Dia sama sekali tidak menyanyikan lagu-lagu yang berbobot dan fenomenal semacam Kebyar-Kebyar itu. Mungkin lagu-lagu lawasnya saat itu belum dibuat versi minus onenya. Penonton begitu antusias menyanyikan lagu-lagu yang dibawakan Gombloh. Dia sangat mahir membangun komunikasi dengan penonton. Meskipun berbadan kurus, namun ternyata dia mampu tampil hampir satu jam penuh. Dia berdiri selama menyanyi dan berdialog dengan penonton.
Sedangkan saya seperti saat tampilnya Ebiet sebelumnya, masih disibukkan oleh urusan hawa dingin. Hawa dingin semakin malam bukan semakin berkurang justru semangkin menggila. Apalagi saat itu kabut sudah mulai turun. Sekuat tenaga saya berusaha mengurangi dingin yang sudah menusuk-nusuk sumsum itu. Bergerak-gerak, menggosok tangan dan membuang napas lewat mulut tidak mampu mengurangi bekunya malam itu. Jam sepuluh Gombloh selesai tampil. Konser juga selesai.
Saya senang sekali saat itu. Senang karena konser selesai. Bukan senang karena telah melihat konser Ebiet dan Gombloh. Senang karena segera bisa terlepas dari siksaan hawa dingin. Saya dan Udin menuruni bukit untuk pulang. Untuk sampai rumah saya masih harus menahan hawa dingin lagi sekitar satu jam perjalanan.
Saya dan Udin menuju parkiran untuk mengambil motor. Jok sudah basah oleh embun. Begitu pantat nempel di jok motor, air embun menembus hingga celana dalam. Nyess dingin rasanya. Motor digenjot, langsung tancap gas menuruni jalanan Kaliurang. Saya masih nggonceng di belakang. Di perjalanan saya nempel terus di punggung Udin.
Dingin udara ditambah terpaan angin sudah betul-betul menyiksa. Sampai di kampus Bulaksumur, kami berhenti dan mampir warung hik di pinggir jalan. Teh panas dan gorengan mampu mengurangi dingin yang sudah terlanjur masuk sumsum itu. Setelah badan tidak lagi kedinginan, saya ganti yang di depan mengendarai motor hingga Kepuh. Sekitar jam 12 malam sampai rumah. Udin tidak mampir rumah, langsung pamitan pulang.
Pengalaman saya nonton konser Gombloh di Kaliuarang itu adalah pertama kali dan sekaligus terakhir melihatnya secara live. Tidak lama setelah konsernya di Kaliurang itu, Gombloh dikabarkan meninggal. Menurut berita yang saya baca karena sakit liver. Melihat tubuhnya yang kurus kering sepertinya Gombloh menyimpan banyak penyakit di dalamnya. Penyakit itulah yang menghantarkan ruhnya menemui Khaliqnya. Meski Gombloh telah mati, namun hingga kini lagunya masih abadi. Setiap Agustus lagu Kebyar-Kebyar hampir setiap hari terdengar. Sedangkan Apel dan Setengah Gila hingga sekarang saya tetap tidak suka mendengarnya. (*)

Nonton Konser I " Beatles Sukses Raksasa Godbless "


NONTON KONSER I
“Beatles Sukses Raksasa Godbless”
Hermawan Widodo

Beatles merupakan salah satu grup musik yang mampu menyeret saya untuk menggilainya, menjadikan saya keranjingan. Sebenarnya saya tertarik dengan Beatles secara tidak sengaja. Waktu itu saya membaca majalah Vista Musik yang memuat artikel bersambung tentang Beatles.
Artikel seri ke dua itu mampu membuat saya langsung tertarik dengan Beatles. Artikel yang ada gambar kartun mereka berempat di dekat buaya itu memuat beberapa album yang sudah dikeluarkan Beatles. Juga memuat pernyataan John Lennon yang mengatakan Beatles lebih terkenal dari Jesus. Saya juga menemukan potongan koran di kebun Mbah Adi yang memuat berita tentang John Lennon menjadi hantu pasca kematiannya.
Sedangkan yang mampu membuat saya terobsesi dengan mereka adalah saat RRI Jogjakarta mengudarakan lagu Obladi Oblada. Itulah lagu Beatles pertama yang saya dengar. 
 Wujud kecintaan saya pada Beatles, teraktualisasi pada gaya rambut yang saya buat mirip-mirip poni. Bermodalkan rambut lurus maka gaya poni saya lumayan mirip. Apa jadinya jika rambut saya kribo atau kriwil-kriwil, sangat susah untuk memponikannya. Selain gaya rambut, saya juga mengoleksi banyak poster dari mereka. Poster itu saya tempel di dinding ruang tamu, dinding kamar tidur, bahkan sampai dinding kamar mandi pernah saya tempeli poster Beatles.
Koleksi kaset Beatles saya juga lumayan lengkap. Semua album studio yang pernah dikeluarkan Beatles dari Meet The Beatles hingga Let It Be saya punya. Waktu itu koleksi yang umum berupa pita kaset. Piringan hitam dan CD merupakan barang mewah. Satu biji kaset baru C-60,harganya Rp.1.750 (seribu tujuh ratus lima puluh rupiah). Sedangkan untuk C-90 harganya Rp.2.250 (dua ribu dua ratus lima puluh rupiah). Maksud kode C-60 adalah masa putar kaset itu per sisi selama 30 menit sehingga total 60 menit. Sedangkan C-90 totalnya 90 menit.
Hampir sebagian besar kaset saya keluaran dari Aquarius. Produsen rekaman itu biasanya mengeluarkan album seri bagi grup atau penyanyi solo. Di dalam album seri itu, lagu-lagu dalam satu album dari grup atau penyanyi solo dapat secara utuh dinikmati. Cover album biasanya juga sama persis dengan yang yang sebenarnya. Ada beberapa kaset koleksi saya keluaran dari label lain semacam Atlantik, A&M, Hins dan Yess, namun tidak banyak. Semua album Beatles saya keluaran Aquarius, dengan cover kaset sama persis dengan yang saya baca di majalah.
Saya membeli kaset Beatles pertama kali di salah satu kios shooping center. Kaset bajakan seharga seribu perak itu saya simpan sampai saya tahu bahwa itu adalah kaset bajakan. Ketika saya mulai membeli kaset dari label Aquarius, kaset bajakan yang pernah saya beli di shooping center itu saya buang semunya.
Setiap hari di rumah saya tidak pernah lepas dari suara lagu Beatles. Tape yang besar itu, di rumah menjadi andalan untuk menyetel kaset-kaset Beatles. Meskipun tidak stereo, namun output yang dihasilkan cukup enak di telinga. Bas dan trebelnya lumayan jelas. Dan yang penting keras, sehingga dapat terdengar dari luar rumah saat saya pagi-pagi harus menyapu halaman yang luasnya 3x lapangan volley itu.
Setiap minggu pagi jam 6 sampai 8 di radio Unisi Pasar Kembang Jogja, yang waktu itu masih AM ada acara remember The Beatles. Penyiar rutin yang membawakan acara tersebut adalah Aditya atau nama udaranya mas Adit. Saya termasuk yang sering request lagu di acara tersebut. Maka bisa dipastikan setiap minggu pagi, saya tidak bisa diganggu kegiatan yang lain karena konsentrasi dengan acara radio tersebut. Termasuk ketika di kampung ada kegiatan kerja bakti, saya ikut turun kerja bakti saat acara remember The Beatles selesai. Jadi saya datang ke arena kerja bakti, pas waktunya mereka sedang istirahat sambil minum dan makan snack.
Semua media yang dapat digunakan untuk menyalurkan kebeatlesan saya, selalu saya manfaatkan. Salah satunya adalah pelajaran seni lukis. Saat itu Pak Manto guru seni lukis dan sekaligus wali kelas memberikan tugas untuk membuat gambar cover buku. Saya menggambar wajah John Lennon dari samping. Gambar itu saya tiru dari salah satu cover kaset. Gambar wajah dengan kaca mata khas itu saya beri judul Lennon&Me. Sebenarnya judul aslinya Elvis&Me karangan mantan istri Elvis. Namun karena saya tidak suka Elvis, judul itu saya comot dan Elvis saya ganti dengan Lennon.
Kemudian saat ada tugas membuat gambar cerita pendek empat babak. Saya membuat gambar dengan tokoh saya sendiri. Gambar satu adalah saya membeli kaset Beatles. Gambar dua saya membayangkan enaknya jadi Beatles yang terkenal. Gambar tiga saya tidur dan mimpi menjadi Beatles sedang konser ditepuki penonton. Gambar empat saya bangun dan muncul keinginan kuat mewujudkan mimpi dengan belajar dan berlatih keras untuk mampu seperti mereka.
Film tentang Beatles juga sebagian besar pernah saya lihat. Namun untuk bisa nonton film mereka saya harus rela tinggal di asrama polisi Patuk. Di rumah Mbak Jazim ada video. Berbekal uang dari rumah saya menyewa kaset video Beatles.
Film pertama yang saya lihat adalah film hitam putih A Hard Days Night. Kemudian Help yang sudah berwarna, dan Let It Be konser mereka di atas bangunan bertingkat itu. Hanya tiga film, karena di rental yang ada juga hanya ada tiga judul. Saya belum memiliki referensi lain di luar tiga film itu. Ternyata belakangan baru saya paham ada film lain yang dibuat oleh mereka Magical Mystery Tour.
Buku-buku tulis, juga saya tempeli dengan potongan-potongan poster mereka. Karena itulah saya oleh sebagian teman SMP dipanggil John. Khususnya Zuni yang selalu memanggil saya John hingga SMA.
Nonton konser Beatles adalah sebuah obsesi yang tak pernah padam. Namun karena mereka sudah bubar sebelum saya lahir, maka hil yang mustahal untuk dapat melihatnya secara live. Maka kelompok Barata yang membawakan lagu-lagu Beatles di panggung menjadi penggantinya. Pengusung lagu Beatles paling laris di Indonesia itu dikomandani oleh Abadi Soesman yang memegang kibor dan kadang gitar.  Jelly Tobing menabuh drum dan dua personel lainnya memegang gitar dan bas. Di Jogja juga ada kolompok musik yang khusus membawakan lagu Beatles, namanya agak panjang sehingga saya lupa.
Ketika ada salah satu EO menyelenggarakan konser musik dengan tema Beatles membuat saya semangat untuk nontonnya. Sebagai penyaji utama adalah Barata. Yang lain sebagai pembuka adalah band lokal dari Jogja. Sabtu siang sepulang sekolah saya mengendarai motor Yamaha L2 Super yang biasa dipakai harian oleh bapak ke kantor menuju Kemetiran Kidul, tempat sekretariat panitia. Saya beli dua tiket. Harga tiket Rp.5.000,- per lembar.
Rencana saya mau nonton bareng dengan Usman. Saya dan Usman sudah janjian. Dia akan menghampiri saya membawa Honda Astreanya, sore ba’da magrib. Manusia hanya  punya rencana, sedang Tuhan yang menentukan segalanya. Satu jam sebelum waktu janjian dengan Usman untuk melihat konser mirip-mirip Beatles, ada kejadian tragis yang membuyarkan rencana dan angan-angan saya.
 Ceritanya, ibu saya ketika hendak memindah wajan penggoreng, tiba-tiba secara tak terduga wajan berisi minyak goreng yang masih super panas itu tumpah. Tumpahnya tidak di tempat yang tepat. Minyak goreng panas yang super kurang ajar itu menimpa kaki ibu yang tercinta. Kontan ibu meraung kesakitan saking panasnya.
Kami sekeluarga kaget dan panik atas tragedi yang terjadi menjelang maghrib itu. Keributan di rumah mengundang saudara dan tetangga mendatangi rumah saya. Dalam waktu sekejap rumah penuh dengan orang. Banyak saran yang diberikan untuk meredakan sakit. Ada yang bilang dengan odol. Saat itu memang kaki ibu sudah dipenuhi warna putih odol. Ada yang menyarankan diolesi dengan oli. Maka dengan ember diisi oli kaki ibu direndam di dalam ember isi oli itu.
Butuh waktu lebih satu jam untuk meredakan rasa sakit akibat terjangan minyak panas itu. Waktu adzan maghrib orang yang berkerumun sudah mulai bekurang, mereka satu per satu pulang. Hanya ada keluarga dan saudara yang masih bertahan di teras, bagian depan rumah. Ibu duduk di kursi panjang dengan kaki masih terendam di ember oli. Saya lihat ibu masih menahan rasa sakit. Itu nampak dari ekspresi wajah dan juga gerakan tangannya. Di saat kondisi seperti itulah Usman datang.
Melihat kerumunan keluarga di rumah, Usman nampak kaget. Apalagi saat melihat ibu duduk di kursi panjang dengan wajah menahan sakit dan kaki direndam di ember. Saya jelaskan kalau ibu baru saja terguyur minyak goreng. Saya kemudian masuk rumah dan mengambil dua tiket konser Beatles mirip-mirip itu. Tiket saya serahkan ke Usman. Saya minta dia mengajak teman lain untuk menggantikan saya. Sayang kalau tidak dilihat. Setelah basa-basi sebentar dia pamit dan pulang.
Dia harus kembali ke Wonokromo dulu untuk mengajak teman yang lain. Saya mengiringnya hingga ke depan rumah. Kepergian Usman juga menghapus angan-angan saya melihat konser Beatles. Meskipun saya keranjingan Beatles, saya tidak sampai hati melihat ibu begitu. Ibu yang melahirkan saya sedang menderita, mosok saya tinggalkan hanya untuk nonton konser sambil jingkrak-jingkrak dan berteriak yeah..yeah..alangkah durhakanya saya.
Dua tahun setelah kejadian  itu saya berkesempatan nonton Barata kembali konser di Mandala Krida.  Namun saat itu saya sudah tidak lagi jatuh cinta kepada Beatles. Saya masih sayang, namun saat itu hati saya sudah kecanthol pada grup musik yang lain. Grup musik itu adalah Pink Floyd.
Keinginan nonton konser saya berganti dari Beatles ke Pink Floyd. Keinginan itu ternyata bisa terwujud meskipun juga hanya melihat yang mirip-mirip saja. Karena mana mungkin mampu melihat mereka secara langsung di Indonesia. Sedangkan untuk ke luar negeri mungkin hanya mimpi di siang bolong.
Waktu itu Log Zelebour selaku promotor dan produsen rekaman menyelenggarakan tour untuk promosi album Godbless yang terbaru Raksasa. Setahun sebelumnya Godbless juga melakukan konser untuk album Semut Hitam yang legendaris. Konser yang disponsori oleh Gudang Garam itu digelar di stadion Kridosono. Selain Godbless, sebagai pembuka disertakan Power Metal, Mel Shandy dan El Pamas. Formasi Godbless sudah ada perubahan, gitarisnya dari Ian Antono diganti Eet Syahrani. Personel yang lain masih tetap.
Saya, Siloek dan Haryadi sepakat untuk nonton konser itu. Tiket yang membelikan Siloek. Di sekolah siang sebelum konser saya dan Hari sudah mendapatkan tiket itu dari Siloek. Sebenarnya ada bonus satu bungkus rokok Gudang Garam untuk tiap tiketnya. Namun oleh Siloek rokok itu diserahkan ke penjual tiket. Kami meskipun gandrung musik rock namun jauh dari rokok dan alkohol. Siloek bilang mau berangkat sendiri dari Umbulharjo. Saya dan Hari berangkat goncengan dari Jagalan.
Lepas maghrib saya dan Hari berangkat. Ternyata Bimo dan Tutik juga sudah dapat tiket dan mau nonton juga. Bimo adalah kakak Hari yang kuliah di Kedokteran Umum UGM dan sudah lulus sepa milsuk AD berpangkat letda. Sedangkan Tutik kakak perempuannya kuliah di Kehutanan UGM. Dua-duanya merupakan alumni SMA5 Kotagede kebanggaan kami bersama.
Sampai di stadion Kridosono, motor kami titipkan di tempat parkir. Meski berangkat bareng, namun saya dan Bimo terpisah. Saya tidak tahu mengapa terpisah. Yang jelas kami tidak bareng sampai di Kridosono. Begitu menitipkan motor, saya dan Hari menuju ke stadion.
Ternyata di luar stadion sudah banyak orang yang antri untuk masuk stadion. Seluruh calon penonton itu berjajar satu-satu menuju pintu masuk. Sangking panjangnya mereka hampir mengitari setengah stadion. Saya dan Hari ikut antri di barisan belakang. Untungnya antrian orang yang mengular itu berjalan tertib. Tidak ada yang saling mendahului. Saat saya ikut antri itu, band pembuka sudah tampil.
Power Metal dari luar terdengar dengan jelas sedang menyanyikan Future World-nya Helloween. Mereka terus menyanyi, kami masih terus antri. Karena antrian sangat panjang sampai jatah waktu untuk Power Metal habis. Kami yang di luar sudah mendengar Mel Shandy menyanyi. Kami masih setia berdiri antri. Beberapa lagu hit dia di album Bianglala sudah dinyanyikan. Ternyata antrian begitu panjangnya. Mel Shandy usai tampil, saya dan Hari baru mendekati pintu masuk. Saya dan Hari baru dapat masuk stadion berbarengan dengan tampilnya El Pamas di panggung.
Kami berusaha mendapatkan tempat duduk yang strategis dari padatnya orang di dalam stadion. Kerumunan penonton di depan panggung sudah sangat menjamur. Untuk ke depan sudah tidak mungkin. Mereka sudah jingkrak-jingkrak sejak Power Metal muncul. Saya dan Hari dapat tempat duduk lesehan di sisi timur stadion, menghadap panggung meski agak jauh. Untung panggung dibuat lumayan tinggi, sehingga aksi para personel grup musik yang tampil dapat terlihat jelas.
Saya betul-betul terpesona oleh penampilan El Pamas. Meskipun mereka mengusung lagu manca, namun mereka tampil tidak sembarangan. Lagu yang dibawakan juga bukan lagu yang mudah. Mereka mengusung lagu-lagu Pink Floyd idola saya, dari album terbaik mereka The Wall.
Saat Baruna yang nampak seperti bule itu berteriak, “The Wall Pink Floyd!!”
Semua penonton terdiam, lampu di panggung padam. Hanya satu sorot lampu dari luar panggung yang mengenai sosok vokalis berambut gondrong itu. Baruna mengangkat dua tangannya. Penonton spontan menyalakan api dari korek yang dibawanya.
Suasana tampak ngelangut saat ada suara bayi menangis mengawali lagu The Thin Ice. Baruna menyanyi lagu itu dengan apik. Saat dia bersenandung, “ Uuh baby….” Semua penonton turut ikut koor.
The Thin Ice selesai, masuk Another Brick in The Wall part 1. Saya merinding. Instrumen di akhir lagu itu benar-benar bikin hanyut, ngelangut. Sampai kemudian muncul sound gemuruh suara helikopter menandai masuk ke lagu The Happiest Days Of Our Lives. Lagu rancak itu mampu mengubah dari rasa nglangut yang sudah terbangun dari awal lebih bergairah.
Hingga kemudian masuk lagu puncak yang menjadi sangat klasik Another Brick In The Wall part 2. Koor anak-anak yang ada di rekaman aslinya itu, di stadion Kridosono diganti oleh koor penonton.
Sajian The Wall oleh El Pamas benar-benar membuat saya jatuh cinta dengan Pink Floyd. Terimakasih kepada Totok Tewel dan kawan-kawan yang membawa saya untuk menyenangi musik yang lebih rumit, bukan musik yang biasa-biasa saja.  
Sebenarnya saya sudah cukup puas dengan penampilan El Pamas. Namun ternyata El Pamas bukan penyaji utama. Puncak konser malam itu adalah Godbless dengan formasi barunya. Tahun ’89 Ahmad Albar masih sangat gagah dengan kribonya. Iyek didukung oleh Jockey Suryoprayoga, Doni Fatah, Tedi Sujaya dan gitaris baru Eet Syahrani. Melihat track recordnya, kualitas tampilan mereka sudah tidak perlu diragukan lagi.
Mereka membawakan hampir semua lagu di album Raksasa dan Semut Hitam. Semua lagu yang dibawakan selalu diikuti oleh penonton. Ahmad Albar begitu mampu mengusai penonton. Meskipun ada kerumunan massa begitu banyak namun tidak terjadi kerusuhan.
Saya dan Hari tidak beranjak dari tempat duduk sejak semula kami duduk. Ada keinginan untuk maju ke depan untuk ikut jingkrak-jingkrak. Namun saya punya teori, bahwa yang namanya kerumunan massa itu mudah tersulut. Sehingga lebih aman memang menjauh. Tujuan nonton konser itu untuk menikmati penampilan, bukan jingkrak-jingkrak sendiri, sehingga malah tidak melihat yang sedang beraksi di panggung.
Setelah beberapa lagu dinyanyikan, Iyek kemudian mempersilakan personel Godbless tampil solo. Yang pertama muncul adalah Doni Fatah dengan bas gitarnya. Kemudian disusul solo drum oleh Teddy Sujaya. Kemudian debutan Eet Syahrani selaku gitaris baru Godbless unjuk gigi.
Saat dia unjuk kebolehan menyayat gitar, saya dengar celotehan orang-orang di sekitar saya yang mengomentari aksi Eet Syahrani. Katanya jauh dari Ian Antono. Saya hanya diam saja. Tidak bisa membandingkan antara Eet dan Ian. Ilmu saya tidak sampai ke situ. Saya hanya mendengar Eet meraung-raungkan gitarnya. Kalau saya baca di majalah mirip dengan aksi Edward Van Hallen.
Aksi solo terakhir Jockey dengan keyboardnya. Kali ini dia betul-betul menampilkan diri sebagai musisi yang luar biasa. Beberapa instrumental lagu klasik dia bawakan. Yang sangat special saat dia mengarransemen lagu Padamu Negri, benar-benar membangkitkan semangat patriotisme yang menggelora dan mendalam.
Selesai arransemen yang apik itu, Iyek muncul lagi dengan lagu Semut Hitam. Beberapa lagu selanjutnya masih dinyanyikan oleh Iyek dengan kekuatan yang penuh. Hingga memasuki lagu akhir, Iyek menyanyikan lagu Raksasa yang menjadi brand konser tersebut, sekaligus judul album terbarunya. Ketika lagu hampir mendekati usai, tiba-tiba di panggung bagian depan terjadi hujan kembang api.
Aksi penutup itu benar-benar sangat memukau dan mengesankan. Saya sangat puas dengan aksi yang ditampilkan oleh Godbless. Tidak rugi saya harus antri satu jam lebih untuk melihat langsung penampilan Raksasa Godbless dan El Pamas yang mengusung The Wall Pink Floyd itu. Jam 11 malam konser usai, tanpa ada kerusuhan sedikitpun. Saya sukses nonton konser tanpa satu gangguan yang berarti kecuali panjangnya antri untuk masuk stadion. (*)

Listrik Masuk Kampung


LISTRIK MASUK KAMPUNG
Hermawan Widodo

Jika Dahlan Iskan selaku dirut PLN sedang getol-getolnya memperbaiki perlistrikan Indonesia itu adalah hal yang wajar. Sebab jaringan listrik yang mampu menghidupkan berbagai kebutuhan mendasar manusia itu, saat ini selayaknya sudah dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Listrik hampir menjadi kebutuhan primer, setara dengan sembako. Sebagian besar kegiatan manusia berhubungan dan memerlukann listrik. Meski demikian masih banyak dijumpai di berbagai belahan sudut pulau luar Jawa yang belum tersentuh aliran listrik.
Jangankan di luar Jawa. Saya saja yang tinggal di sentral Jawa, Jogjakarta Hadiningrat pusatnya budaya dan peradaban Jawa baru bisa merasakan aliran listrik pada pertengahan tahun 1990, sehari menjelang saya menempuh pra ebta saat kelas 3 SMAN 5 Jogja.
Kondisi itu mungkin tidak dapat dipercaya, jika dilihat secara geografis dusun saya Kepuh Lor, berjarak tidak lebih dari 4 Km dari Kotagede yang legendaris dengan kerajinan perak dan juga merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram. Hanya berjarak sekitar 3 Km dari monumen Ngoto, tempat jatuhnya pesawat yang dipiloti oleh Adisucipto. Juga hanya sekitar 2 Km dari Sanggrahan yang sangat terkenal di kalangan kaum pencari kepuasan bawah perut. Tetapi faktanya, saya dan warga dusun baru bisa menikmati listrik, pada pertengahan tahun 1990, jauh tertinggal dengan penduduk di lereng pegunungan Muria Kudus, yang sudah mendapatkan sengatan listrik sejak tahun 1980.
Berarti dusun saya yang masih sangat dekat dengan kota tertinggal satu dekade dengan dusun di lereng gunung yang lebih dekat dengan batu. Kutho cerak karo ratu, gunung cerak karo watu, kata orang Jawa. Namun dekat dengan ratu tidak menjamin lebih cepat mendapatkan kemudahan dalam urusan perlistrikan ini.
Pada akhir tahun ‘70an, dusun Kepuh Lor sebenarnya sudah mengenal jaringan listrik tegangan tinggi atau yang disebut dengan sutet itu. Hanya beberapa meter dari rumah saya berdiri tower berangka besi baja sangat tinggi, yang di atasnya menggantung 4 kabel bermuatan mega watt listrik. Tower itu dibangun saat saya masih duduk di TK. Pagi-pagi ada delapan orang dari PLN datang ke sawah kas desa yang berada di selatan Kepuh Lor, tepatnya hanya berjarak 8 meter dari rumah Budhe Pudjo, dan hanya 2 meter saja dari jalan.
Mereka membawa berbagai macam perlengkapan kerja. Namun yang utama adalah pacul. Mereka dibagi menjadi empat kelompok. Tiap kelompok terdiri dari 2 orang menggali lubang berdiameter satu meter, dengan kedalaman lebih dari 10 meter. Lubang seperti sumur itu berjarak 6 meter antara lubang satu dengan yang lainnya. Penggalian lubang itu selesai hanya dalam tempo kurang dari sehari. Mereka kemudian berpindah ke tempat lain, yang jaraknya sekitar 500 meter dari penggalian sebelumnya. Di sebelah timur, penggalian dilakukan di area persawahan dusun Jambidan, sedang di baratnya berada di seberang sungai yang membelah Kepuh Wetan dan Kepuh Kulon.
Lubang mirip sumur itu dibiarkan sekitar satu minggu tanpa ada tindak lanjut. Kamilah yang kemudian menindaklanjuti dengan memanfaatkan sebagai arena bermain. Kami julurkan tali ke dasar lubang dari atas. Yang dimaksud dengan tali adalah, karung beras yang dipilin kemudian diikat sambung menyambung hingga sepanjang lebih sepuluh meter. Tali karung beras itu kami ikatkan ke pohon yang ada di dekat lubang itu. Dengan tali itu kami menuruni lubang hingga ke dasarnya.
Meski nampak mudah, namun tidak semua anak berani turun dengan mengandalkan tali darurat itu. Saya termasuk yang berani. Saya selalu membayangkan menjadi pemanjat tebing yang bergelantungan di tali. Rasanya gagah dan heroik. Kadang saya mencoba turun tidak menggunakan tali. Saya turun menggunakan tumpuan kaki dan tangan. Namun karena diameter lubang agak lebar untuk ukuran badan saya waktu itu, saya agak kesulitan untuk menahan tubuh dengan kaki dan tangan. Tumpuan kaki dan tangan terlalu jauh untuk menjangkau bibir lubang sehingga kekuatannya tidak maksimal. Saya belum pernah berhasil turun dengan cara itu.
Kami bermain dengan lubang-lubang itu hingga kemudian datang truck-truck yang mengangkut besi baja. Truck itu menurunkan muatan di dekat empat lubang yang sudah seminggu ini kami jadikan arena bermain. Berbagai jenis dan ukuran besi baja menumpuk. Sepertinya itu adalah rangka tiang. Delapan orang bertopi proyek mulai menata besi baja itu. Empat besi baja yang besar ditanam di empat lubang, hingga hanya nampak sekitar setengah meter saja dari permukaan. Lubang itu kemudian ditimbun dengan adonan semen hingga penuh. Jadilah empat buah pondasi yang akan menyokong berdirinya rangka tower.
Dengan keahlian yang sepertinya memang sudah teruji, mereka kemudian memasang besi baja berbagai ukuran itu. Di tiap ujung besi baja ada lubang-lubang untuk memasang sekrup dan baut. Selain membentuk ketinggian, besi baja itu juga dipasang melintang, menyambungkan antar tiang. Sehari itu sudah nampak bangunan rangka tower yang berdiri sekitar delapan meter.
Hari berikutnya aktifitas pemasangan besi baja tidak berjalan secepat hari pertama. Hal itu dikarenakan besi baja itu harus dinaikkan ke sambungan yang sudah tinggi. Dengan menggunakan tali besar, besi baja itu diikat dan ditarik ke atas disambungkan pada ujung-ujungnya yang terakhir. Dibutuhkan waktu seminggu hingga tower itu selesai. Tower yang sudah jadi itu ketinggiannya sekitar tiga puluh meter. Empat fondasi kuat menjadi penyangga tiang-tiang besi baja yang ditata dengan konstruksi khusus itu. Tiap empat tiang yang berdiri kemudian disambungkan dengan delapan tiang melintang sehingga nampak sangat kokoh.
Pada ketinggian dua puluh meter dari permukaan tanah dibuatkan dua cabang ke kiri dan ke kanan. Cabang ke dua di puncak tower juga ke kiri dan ke kanan. Panjang cabang sekitar lima meter. Dari jauh tower itu nampak seperti tiang bersalib dua. Bangunan gagah itu kemudian juga dibiarkan begitu saja oleh orang-orang bertopi proyek itu.
Warga Kepuh Lor terutama anak-anak memanfaatkan tower itu untuk bermain. Tower itu dipanjat untuk membuktikan keberanian. Semakin tinggi semakin diakui keberaniannya. Saya hanya berani memanjat hingga ketinggian lima belas meter saja, baru separo dari tinggi tower. Dari ketinggian itu melihat benda-benda atau orang-orang di bawah sudah nampak kecil-kecil.
Namun ada yang berani memanjat tower hingga ke puncak, namanya mas Harno anaknya Budhe Pudjo. Umurnya lima belas tahun lebih tua dari saya. Dia naik ke atas tower sambil membawa layang-layang dan gulungan benang. Sambil berdiri di cabang tower dia terbangkan layang-layang itu. Semakin lama semakin tinggi. Begitu benang di gulungan habis, dia duduk di antara besi baja itu. Layang-layang ukuran jumbo berwarna merah itu terus melayang-layang mengikuti arah angin pada ketinggian di atas rata-rata yang lain. Untuk rekor manaiki tower dia belum terpatahkan, bahkan mungkin tidak ada yang berani mematahkan rekor itu, kecuali petugas PLN bagian arus tegangan tinggi.
Meskipun saya senang dan berani naik tower itu, namun setiap malam ketika berjalan di bawah tower itu muncul rasa ngeri. Tidak tahu mengapa saya selalu mengalami ketakutan jika berjalan di jalan yang hanya dua jengkal dari tower tinggi itu berdiri. Malam-malam, Bapak sering mengajak saya untuk membeli mi rebus atau yang lain di warung mbah Mar.
Ketika berjalan yang hanya berjarak dua meter dari tower itu berdiri, saya selalu merapat kemudian memegang erat tangan bapak. Mungkin bapak heran, melihat perubahan sikap saya ketika berada di bawah tower itu. Dalam diri saya muncul kekhawatiran jika tower itu tiba-tiba roboh. Ketakutan yang menurut saya menggelikan, tetapi bagi anak seusia TK saat itu masih bisa diterima.
Tower itu menjadi ajang bermain kurang lebih selama sebulan. Truck-truck kembali datang dengan membawa gulungan kabel sangat banyak jumlahnya. Di tiap-tiap titik dengan jarak tertentu di tempatkan gulungan kabel seukuran jempol kaki. Ketika kabel itu masih berada di bawah, kabel itu bergerak karena ditarik untuk disambungkan dengan kabel di ujung yang lain. Waktu kabel bergerak itu, juga dijadikan sebagai ajang bermain bagi kami anak-anak Kepuh Lor.
Sepulang dari sekolah TK, saya, Slamet dan Suselo selalu mencari sesuatu yang bisa diikatkan pada kabel yang bergerak. Biasanya berupa kantong plastik bekas, atau pelepah pisang. Bermacam-macam benda yang terikat itu akan terseret gerak kabel. Mungkin bapak bertopi proyek di seberang sana akan misuh-misuh ketika harus mencopoti ikatan-ikatan benda pada kabel hasil kreasi kami. Saat mengikatkan ke kabel itu kami harus ikut bergerak searah gerak kabel. Jika tidak begitu, maka benda yang akan diikatkan sudah putus oleh goresan kabel sebelum terikat. Selo pernah tergores pahanya oleh kabel yang bergerak itu, akibatnya dia harus berdarah-darah. Kabel-kabel itu, kemudian oleh orang-orang yang bertopi proyek dinaikkan ke tower.
Sayangnya saya tidak bisa menjadi saksi hidup bagaimana kabel seukuran jempol kaki dan panjangnya berkilo-kilo meter itu, bisa bertengger di tower yang tingginya mencapai 30 meter. Sepulang dari sekolah TK dengan maksud main ikat kabel, ternyata sang kabel sudah bertengger di atas sana dengan angkuhnya.
 Kabel sudah terpasang di tower. Berjarak lima meter dari bawah, di tiap tiang tower di beri pagar runcing dan tulisan merah pada plat putih. Bunyi tulisan itu yang jelas adalah “ BERBAHAYA - LISTRIK TEGANGAN TINGGI - DILARANG MEMANJAT “. Dengan adanya tulisan peringatan berbahaya itu selesai sudah tower sebagai ajang bermain. Sebab setelah itu tower bukan lagi ajang bermain-main, dia sudah menjelma menjadi tower penjemput maut. Barang siapa memiliki nyali cukup untuk naik ke tower itu kemudian dengan gagah memegang kabel seukuran jempol kaki itu, bisa dipastikan dia akan sukses menjemput maut.
Ketika tower sutet itu sudah berfungsi, kami warga Kepuh Lor tidak bisa menikmati aliran listrik yang towernya berdiri gagah hanya beberapa jengkal di samping bumi Kepuh Lor. Listrik bertegangan tinggi itu sekedar lewat saja di atas kepala kami, tidak peduli dengan warga di bawahnya yang sangat ingin dusunnya diterangi listrik. Justru burung merpati saya yang sukses menikmati bangunan gagah salah satu ikon Kepuh Lor itu.
Ketika saya melepas merpati berbulu hitam itu dari dusun Dolahan sekitar satu kilo meter dari rumah, burung itu terbang dengan cepat ke arah Kepuh Lor. Dari tempat saya berdiri melepaskan burung itu, saya melihat merpati saya tiba-tiba mampu menukik dengan ketajaman tukikan 90 derajat. Suatu prestasi yang betul-betul luar biasa, mengingat merpati saya tidak memiliki kemampuan khas merpati terlatih.
Merpati hitam itu selama ini jika turun tidak mampu menukik, dia hanya turun langsam saja. Tetapi tukikan itu terlihat ada yang janggal. Burung itu seperti terhenti dan kemudian melesat ke bawah. Saya mengambil sepeda yang tergeletak, kemudian mengontelnya menuju rumah. Saya penasaran dengan peningkatan kemampuan merpati saya. Namun sampai rumah, di gupon tidak ada merpati itu. Di atas genteng juga tidak ada. Saya heran. Terbersit pemikiran merpati saya menabrak kabel listrik.
Saya berlari menuju sawah persis di bawah kabel yang melintas. Saya mencari-cari di tempat kira-kira merpati saya tadi menukik tajam. Mata saya tertumbuk pada sosok hitam yang tergeletak di sela-sela tumbuhan kacang. Saya ambil sosok itu, yang ternyata merpati hitam yang belum pulang. Tercium bau gosong. Saya lihat dada burung itu sudah terbelah, mati sudah.
Merpati hitam itu ketika terlihat menukik, bukan karena mau turun dengan gerakan tukikan tajam, namun karena dia menghantam kabel listrik tegangan tinggi. Akibatnya sungguh tragis, dia mati seketika dan jatuh melayang tanpa ampun, ke bawah terhempas di sawah, dengan dada gosong dan terbelah. Burung merpati saya betul-betul menik-mati tower sutet itu, menabrak kabel dan mati.
Memasuki pertengahan tahun ‘80an wacana mewujudkan penerangan listrik kembali menguat. Waktu itu warga Kepuh Lor menyelenggarakan turnamen bola volley yang mendatangkan klub-klub bola volley se Jogjakarta.
Bapak selaku bendahara turnamen, paling kuat memperjuangkan hasil keuntungan turnamen itu untuk membeli tiang listrik. Dengan tiang itu, maka kabel yang membawa aliran listrik bisa sampai di Kepuh Lor. Tentu wacana itu menimbulkan gairah bagi kami untuk bisa menikmati enaknya memiliki jaringan listrik.
Turnamen yang digelar selama sebulan penuh itu berjalan sangat sukses. Berbagai klub volley ternama seperti Yuso, Pertamina, Baja 78, Mataram Timur dan yang lain, saling tanding dengan kualitas permainan yang baik. Beberapa pemain nasional juga turut turun lapangan, bermain memperkuat klubnya. Wajar jika penonton mampu tersedot banyak setiap harinya. Tiket selalu habis terjual. Bahkan banyak penonton yang masuk meski tanpa tiket, setelah pintu dibuka pada saat game terakhir penentu kemenangan.
Permainan paling sedikit tiga game, dan paling banyak lima game. Tiap klub harus mampu meraih poin tiga game untuk memenangi pertandingan hari itu. Selain pertandingan volley bermutu tinggi, juga dimeriahkan pentas seni di malam hari di panggung yang sengaja dibuat di pojok lahan yang agak jauh dari lapangan.
Setiap malam kamis dan malam minggu, selalu ada pertunjukan seni. Ada tari, dagelan dan lainnya. Yang menjadi favorit adalah pentas dangdut dari MBS. Malam minggu saat MBS tampil, penonton selalu membludak. Pentas seni di malam hari itu juga memberikan pemasukan cukup besar, karena setiap penonton wajib membeli karcis masuk.
Meski turnamen volley berjalan sukses dan menangguk pendapatan besar, namun harapan yang tinggi untuk segera mendapatkan aliran listrik ternyata tidak bisa wujud. Menurut bapak, tidak ada kata sepakat dalam penggunaan hasil keuntungan turnamen untuk mengalirkan listrik bagi dusun kami. Saya tidak paham persis bagaimana alotnya pembahasan, namun yang pasti listrik yang sudah diharapkan segera masuk dusun kami tidak jadi, batal, gagal, urung menyala.
Upaya mendapatkan energi listrik akhirnya pupus sudah. Kami harus kembali mengandalkan aki (bunyi dari tulisan accu) untuk menyalakan tivi, mengandalkan minyak tanah untuk penerangan, dan tentu arang untuk menyeterika.
Saya merasakan betapa dongkolnya saat asyik-asyiknya nonton film minggu siang tiba-tiba akinya habis. Kami harus pontang-panting lari ke rumah tetangga untuk melanjutkan melihat film Combat, yang menjadi film favorit selain film Raksasa. Celakanya di dusun saya yang memiliki tivi hanya ada dua orang, yaitu bapak saya dan Budhe Pujo. Namun di rumah budhe itu tivinya diletakkan di ruang dalam dan tidak untuk umum. Jadi kami harus lari meyeberang sungai ke Kepuh Kulon sekedar untuk melihat aksi serdadu Amerika hingga kelar.
Tetapi kalau filmnya Londen (maksudnya film Little House-nya Michael London) kami tidak begitu antusias meskipun aki habis, ya sudah tidak perlu berlari-lari seperti halnya mengejar film perangnya serdadu Amerika Combat atau Raksasa.
Divisi penerangan di rumah saya masih mengandalkan lampu teplok, dan petromak. Mungkin keluarga saya satu-satunya yang selalu menyalakan petromak setiap hari. Baru setelah jam 9 malam petromak dimatikan dan yang tetap menyala adalah lampu teplok. Sebagai anak tertua, saya yang ditugaskan menjabat menteri penerangan dan bertanggung jawab terhadap penerangan dalam rumah.
Kewajiban menyalakan teplok dan petromak itu rutin setiap menjelang magrib. Sehingga ketika saatnya harus menyalakan lampu saya masih asyik bermain, pasti ibu sudah mencari dan menyuruh segera pulang untuk menyalakan lampu.
Untuk stok minyak tanah, ibu berlangganan kepada Lek Pringgo, pemilik warung kelontong terlengkap di Kepuh Kidul. Biasanya sekali antar sekitar 40 liter, yang kemudian dituangkan dalam ember plastik besar. Urusan merapikan baju dengan seterika juga tak kalah ribetnya. Menyiapkan seterika hingga siap dipakai bukanlah perkara mudah.
Dibutuhkan perjuangan ekstra agar arang di dalam seterika itu bisa menjadi bara sesuai harapan. Kadang api baru menyala sebentar kemudian mati, sehingga arang masih dalam keadaan hitam seperti semula. Cara jitu adalah dengan mengguyur minyak tanah, kemudian saat api masih menyala dikipasi perlahan-lahan hingga nampak bara merah di tiap-tiap bongkahan arang. Resikonya memang sedikit terasa aroma minyak tanah. Belum resiko terbakar, atau baju jadi meleleh jika tingkat kepanasannya sudah sangat tinggi. Begitu seterika diletakkan di baju langsung lengket, dan dijamin baju sudah tidak bisa dipakai lagi. Itu kalau seterika yang dipakai masih seterika besi yang berat, umumnya merk jago, yang pengaitnya memang berbentuk jago.
Namun jika seterika itu dibuat dari kuningan yang lebih kecil dan ringan, resiko tadi bisa diminimalisir. Karena begitu ribetnya, saya kadang membawa baju seragam SMA ke rumah Memet di Kanggotan ketika berangkat belajar bersama. Malam diseterika, pagi dipakai sekolah.
Kondisi jahiliyah itu baru berakhir saat bulan Mei tahun 1990. Sehari menjelang pra ebta SMA, tiba-tiba lampu yang sudah terpasang di rumah menyala. Memang beberapa bulan sebelumnya tiang listrik sudah masuk Kepuh Lor. Kabel juga sudah dipasang dan dialirkan ke tiap-tiap rumah. Kami tidak perlu bersusah payah membeli tiang listrik sendiri yang selama ini menjadi kendala utama. Rasanya dunia terang benderang bersamaan dengan menyalanya lampu dop di rumah kami. Waktu itu kami hanya memasang beberapa lampu dop sembari menunggu aliran listrik benar-benar sampai rumah.
Setelah diyakini aliran listrik nyata berada di rumah kami, bapak kemudian membeli berbagai perlengkapan listrik khususnya lampu yang mampu menerangi rumah kami layaknya saat masih menyalakan petromak. Rumah menjadi terang benderang di malam hari. Euforia itu berlanjut terus hingga sekitar sebulan kemudian. Lampu tidak padam sepanjang malam. Kehadiran listrik mampu mengatasi segala keribetan itu.
Dan memang selayaknya listrik dapat dinikmati oleh seluruh warga negara tanpa kecuali, tentu dengan harga yang murah. Saya tidak mau ikut pusing mengkalkulasi biaya produksi, harga jual, subsidi dan tetek bengek lainnya. Mau saya sangat sederhana, listrik menyala, kalau bisa malah menyala terus, terang terus  sepanjang masa. (*)