Kamis, 14 September 2017

KULKAS & TUJUH POHON KELAPA



Aku membuka pintu belakang. Aku kaget. Halaman belakang rumah yang dulu gersang kini telah berubah menjadi teduh. Beraneka pohon tumbuh di sana, menjulang tinggi dengan buah-buah yang lebat, siap untuk dipetik. Beberapa tandan pisang raja siang dipanen, buah nangka siap diambil, buah sirsak bergelantungan, dan yang paling membuatku terkejut adalah pohon kelapa yang menjulang tinggi dengan buah yang lebat.
Aku ingat, dulu ada tujuh pohon kelapa yang aku tanam bersama bapak. Kini, tujuh pohon kelapa itu berhasil bertahan melewati musim hujan dan kemarau. Aku memandang tujuh pohon kelapa yang berdiri kokoh itu dab dakan hati aku tak henti berdoa, semoga tujuh pohon kelapa itu mampu mengubah hidup kami: aku, bapak, dan emak.
Seperti buku sebelumnya, Rohmat Sholihin dalam buku ini juga mengembara dalam belantara peristiwa hidupnya yang romantis sekaligus tragis dan tak lepas dari persoalan tempat di mana dia bermukim. Peristiwa-peristiwa yang terjadi tak berbeda jauh dengan yang pernah saya alami. Oleh karena itu saya sangat asyik membaca kumpulan cerpen ini; seperti menapaktilasi masa lebih 65 tahun silam: kemelaratan, sinisme, suka-duka bersama orang sekitar, termasuk di dalamnya isu-isu yang melukai hati, perasaan... pendek kata, membaca karya Mas Rohmat Sholihin membimbing saya menelusuri lorong masa lalu yang sekarang telah menjadi sejarah.
Soesilo Toer -

Penulis: ROHMAT SHOLIHIN
Penyunting: SOESILO TOER
Penerbit: KOMUNITAS KALI KENING & PATABA PRESS
Cetakan Pertama: September, 2017
Tebal Buku: xvi + 272 halaman, 14 x 20 cm
ISBN: 978-602-61940-3-9

Pramoedya dan Jejak Langkah Indonesia Sebagai Bangsa

Pramoedya Ananta Toer atau yang akrab dipanggil Pram menjadi bagian penting dari sejarah bangsa Indonesia. Itu bukan hanya dibangun oleh karya-karya sastranya, namun juga melalui kisah hidupnya. Pram menggambarkan embrio kebangsaan Indonesia melalui karya sastra yang ia tulis. Novel Arok Dedes menggambarkan pergulatan bangsa ini di-abad 12-13, Arus Balik di abad 16, Mangir di abad 17, dan Tetralogi Buru akhir abad-19 & awal abad-20.
Novel Pram adalah sejarah yang difiksikan. Ia mendobrak cara pandang mistis dan tradisional dengan realisme sastra sejarah. Novel-novel tetralogi buru membentuk sebuah cerita epik revolusioner dengan keindahan estetika yang unik, memberi kontribusi intelektual dan politik dengan analisa kelas sosial. Dalam 2.000 lembar novel tetralogi buru, tidak ada satu kata pun yang menyebut “Indonesia”, padahal novel tersebut adalah tentang jejak langkah Indonesia sebagai bangsa. Bagi Max Lane “itu adalah bentuk kejeniusan dari Pram”.
Apakah Indonesia sebagai bangsa hadir dari kesinambungan masa lampau atau justru penolakan terhadap masa lampau? Bagaimana jejak langkah Indonesia sebagai bangsa? Apakah Indonesia merupakan bangsa yang paripurna atau bangsa yang belum selesai? Bagaimana Pramoedya Ananta Toer menggambarkan terbentuknya bangsa Indonesia dalam karya-karyanya? Bagaimana analisis Pram terhadap peran kasta dan kelas dalam pembentukan Indonesia sebagai bangsa?
Mari mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam diskusi dan peluncuran buku “Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia” di MAP Corner-Klub MKP UGM pada Selasa, 19 September 2017 pukul 15.00 wib. Diskusi dengan tema “Pramoedya dan Jejak Langkah Indonesia Sebagai Bangsa” ini akan dipantik oleh:
1. Max Lane (Penulis Buku “Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia” dari Institute of Southeast Asia Studies, Singapore & penerjemah karya-karya Pram ke bahasa Inggris)
2. Soesilo Toer (Adik Pramoedya Ananta Toer & Pengelola Perpustakaan Pataba, Blora)
Mari Merapat dan Mendiskusikan...

Senin, 11 September 2017

Pamflet Yu Patmi



Pengantar

Semua orang yang melek hati nuraninya di dunia ini paham negara ada karena ada warga. Sebaliknya tak mungkin ada negara tanpa warga. Sedang warga tanpa negara bisa hidup. Jadi jelas bahwa negara/pemerintah bukan kebutuhan yang mutlak diperlukan oleh warga. Namun kelihatannya dogma/doktrin itu, semakin modern masyarakat, semakin kabur, bahkan kontradiktif, seolah negara/pemerintah ada demi warga.
Di luar konteks di atas, harus mutlak dipahami bahwa petani adalah golongan pencipta nilai tambah di atas dunia ini. Tanpa mereka dunia ini sudah runtuh sejak mula. Walau begitu, kemutlakan petani di atas dunia ini tidak diikuti oleh pengakuan sebagai pahlawan lingkungan, justru selamanya menjadi korban keserakahan, kerakusan manusia. Ingat peristiwa Revolusi Industri I di Inggris. Petani diusir dari lahan mereka dan hijrah ke kota lain sebagai transmigran. Ada sindiran sinis efek samping dari revolusi tersebut: “Seperti biri-biri yang memakan manusia.”
Di Rusia juga pernah terjadi pemberontakan petani pada permulaan abad ke-18 yang dipimpin oleh Pugachov. Cerita tentang pemberontakan petani tersebut ada dalam novel Putri Kapten karya Aleksander Pushkin. Pemberontakan petani itu adalah perlawanan terhadap kekuasaan tsar (kaisar) yang tiran. Di Indonesia, petani ditindas Orde Baru sebagai BTI (Barisan Tani Indonesia) yang pro-komunis.
Dewasa ini petani ditindas oleh orde yang berkuasa dengan proyek-proyek dan mega proyek perusahaan asing yang jelas mencari untung – pabrik semen. Penggalian minyak, batu bara, penggusuran petani yang tanahnya diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, karet dan segulang lainnya, termasuk perkembangan perkotaan. Belakangan ini, ada peristiwa Pegunungan Kendeng akan dijadikan sebagai basis pembangunan pabrik semen.
Saya sebagai Penasihat Blora Hijau turut prihatin dan menolak apa pun atau siapa pun yang berusaha merusak atau mengeksploitasi Pegunungan Kendeng. Pegunungan Kendeng adalah pelindung lingkungan alami yang vital. Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan “Pasang Surut” sejak lama mendukung masyarakat Samin di Sukolilo, Pati Selatan, lebih dari sepuluh tahun, yang menolak pendirian pabrik semen di sana.
Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan “Pasang Surut” dan Pataba Blora juga menolak dibangunnya pabrik semen di Rembang. Orang-orang yang setuju itu hanya memikirkan keuntungan sesaat, tidak ingat bahwa nanti akibat kemudian hari akan menimbulkan bencana dan petaka yang tak terbayangkan. Ingat kasus Lapindo Brantas! Seperti apa efek yang ditimbulkan sampai hari ini. Bencana yang jelas-jelas dibuat oleh manusia, oleh para pejabat, kemudian diubah menjadi bencan alam demi untuk menghindar dari tanggung jawab. INI EDAN!
Jangan hendaknya kasus Lapindo Brantas terulang di Pegunungan Kendeng. HARUS DILAWAN!
Selamat berjuang hai kaum tani Kendeng. Kalian adalah pejuang sejati seperti kata tokoh nasional Tan Malaka: tidak ada yang menyuruh, tidak dibayar, tanpa pamrih. Itu adalah tugas muliamu sebagai manusia dan juga untuk manusia di atas dunia ini! Seperti kata penyair Wiji Tukul, hanya lima huruf senjatamu untuk menang: LAWAN!!!


I
Republik Pantat

Republik Pantat adalah akronim dari “PAra tokoh Negeri yang TAk Toleran/Tanggap situasi.” Itu kenyataan dewasa ini sejak lahirnya Orde Baru yang berlanjut sampai kini. Soekarno yang memproklamasikan Republik Indonesia tahun 1945 atas desakan para pemuda, berkeinginan membangun Indonesia setelah kemenangan Sekutu melawan kekuasaan fasis JIN (Jerman-Italia-Nippon) demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Ini utopia, karena Soekarno seperti berjalan dalam gelap lorong – lubang hitam yang lebih hitam dari warna hitam. Namun ia telah berusaha keras selama 20 tahun dengan segala risiko dan kelemahan pribadi sebagai manusia. Lebih lima kali percobaan pembunuhan oleh kegarangannya dalam langkah dan pidatonya; pada tahun 1952 oleh seorang jenderal; tahun 1953 pada hari besar Idul Adha di Masjid Istana ketika ia akan ditembak dari belakang; pada tahun 1954 ketika terjadi Peristiwa Maukar ketika seorang pilot AURI dengan pesawat Mustang memberondong istana dengan bren; pada tahun 1954 penggranatan Soekarno yang dikenal dengan Peristiwa Cikini, di mana beberapa orang ibu (di antaranya ada yang hamil) tewas dan ratusan murid TK/SD itu tewas dan luka; yang terakhir misteri drama kudeta merangkak yang sampai sekarang belum terkuak.
Yang jelas, semua itu bukan tujuan Soekarno membangun negeri ini. Itu pihak lain (the other) yang tidak sepaham. Sebagian dari mereka bahkan belum lahir pada tahun 1945. Namun kemudian merasa menganggap diri mereka sebagai yang paling berjasa. Memang itu hak mereka, tapi harus diingat, hidup bermasyarakat harus juga mengakui hak orang lain. Jangan pongah seperti Napoleon Bonaparte, yang lahir di Kepulauan Korsika, ketika menjadi Kaisar Prancis: “L’etat seis moi.” (Negara itu saya).
Katakan tidak sekasar Napoleon Bonaparte, tapi dalam tingkah laku dan perbuatan mereka melebihi Napoleon Bonaparte. Contoh dalam kasus Panama Paper, ada simpanan tokoh negeri ini di luar negeri (Capital Flight) berjumlah lebih besar dari seluruh pinjaman RI dari luar negeri dalam kurun waktu tertentu. Jadi negeri yang begini makmur, tapi miskin ini, dibuat lebih terpuruk lagi oleh perbuatan para tokohnya yang notabene adalah wakil dari rakyat, yang dipercaya untuk meringankan beban hidup mereka. Para wakil rakyat justru lupa diri dan memperkaya diri sendiri. Secara teori mereka hidup harus selaras dengan keadaan masyarakat, atau yang lebih benar, lebih miskin lagi. Namun ini justru terbalik.
Korupsi dan pemborosan uang negara dilakukan oleh wakil-wakil yang ditunjuk oleh warga. Sebagai contoh, untuk pewangi kakus/wc Gedung DPR/MPR saja biayanya milyaran, padahal di Ibu Kota saja banyak warga yang tidak mempunyai atau tidak kuat membangun WC atau kakus.
Yang pasti, antara tugas yang diemban dan tindakan yang dilakukan para wakil rakyat tidak sesuai. Itu yang membuat negeri ini adalah bak Republik Pantat, di mana para pejabatnya tidak taat atau tanggap terhadap situasi dan kondisi zamannya.
Perilaku buruk para wakil rakyat ini harus dihentikan. Salah satu caranya adalah dengan mencabut mandat rakyat yang diberikan kepada mereka, lengserkan dan kalau perlu habisi saja mereka.

II
Warga & Negara

Ada warga maka ada negara. Itu dogma atau doktrin. Dan tidak bisa lain. Sebaliknya adalah utopia – tak mungkin. Namun warga bisa hidup tanpa perlu membuat/membangun negara. Pembangunan negara oleh warga karena motivasi tertentu. Namun itu tidak mutlak. Dan, mereka yang menerima mandat itu merasa warga unggulan dengan segudang status, gelar, dan berbagai alternatif lain. Yang jelas, mereka tidak mengerti atau tidak mau mengerti atau masa bodoh dengan tugas yang dipercayakan kepadanya.
Salah satu bukti nyata, beberapa waktu lalu masyarakat Indonesia merayakan Proklamasi ke-72 tahun. Namun mana doktrin negara secara benar menunaikan tugasnya? Bahkan membangun negara primer saja tak mampu, apalagi yang namanya membangun negara sekunder dan lebih-lebih tersier. Barangkali hanya ada dalam kitab-kitab suci, artinya juga utopia belaka. Cuma khayalan! Karena para tokoh dalam lingkup negara/pemerintah mendapat mandat, baik langsung maupun perwakilan, dari rakyat/warga, maka mereka harus kembali ke tugas yang diembankan kepadanya. Dan bukan yang lain. Mereka secara etika dan nyata harus kembali ke jalan yang benar. Kalau tidak, kembalikan mandat itu kepada yang memberi sebelum rakyat kehilangan kesabaran!

III
Kenalilah Dirimu!

Kata-kata mutiara berjumlah 15 huruf dari filsuf jalanan, Socrates, lebih 24 abad lalu itu abadi ketenarannya. Ia juga menghasilkan sejuta tafsir tergantung situasi, kondisi, dan toleransi yang menjadi cikal-bakal lahirnya istilah filosofi – dialektika.
Mengenal diri sendiri adalah persoalan yang paling mendalam dalam diri seorang pribadi. Yang jelas, dalam pengalaman hidup lebih 80 tahun di dunia ini, hanya beberapa gelintir orang yang menjawab benar. Sebagian besar bahkan tak sampai memikirkan hal tersebut walau mereka mempunyai sederet gelar perguruan tinggi. Buat mereka hakikat hidup tidak penting, yang utama bagi mereka adalah nikmat hidup. Nikmat hidup itu sama bagi mereka sebagai hakikat hidup. Itu benar karena mereka pongah terhadap keberhasilan hidup, yang diuber dalam bentuk materi. Dan itu pun hak mereka. Biasanya mereka adalah para pejabat – wakil dari warga, tapi justru yang tidak mengerti hakikat hidup. Warga tak lebih dari sampah. Itulah paradoks kehidupan masyarakat modern. Pejabat yang ditunjuk oleh rakyat berfungsi sebagai abdi rakyat, pelayan masyarakat. Kenyataannya kebanyakan justru mereka minta dilayani, dihormati, bahkan sampai disembah bak manusia luar biasa. Itu berarti mereka tidak mengenal dirinya sendiri. Dan, karena tak mengenal diri sendiri, mereka pasti tak mengerti hakikat dirinya sebagai manusia. Dan, pejabat atau tokoh penguasa oleh Plautus, seorang pemain panggung, diistilahkan dengan no homo – bukan atau belum manusia.
Benar ada kata mutiara lain yang bicara tentang dialektika fanta rei – semua mengalir, semua berubah. Karena waktu berubah, manusia berubah dari generasi ke generasi, tapi ada yang tetap, tidak berubah, yaitu hakikat manusia itu sendiri.
Ada pepatah sindiran yang mengatakan, “Aku tahu Anda dari pertanyaan Anda!” Bisa juga dari jawaban Anda, atau yang lain bahkan sampah dapur Anda. Orang yang bicara seperti ini pasti tahu hakikat dari dirinya sendiri. Kalau dia tahu hakikat dirinya, dia sudah pasti manusia seutuhnya. Dari situ kita tahu diri orang lain, yang juga merupakan hakikat dirinya. Saling tahu menuju saling mengerti, saling menghargai, dan akhirnya saling kerja sama. Dan bukan saling membenci dan saling dengki. Tahu hakikat diri cenderung menuju kepada sikap bijak menghargai orang lain, seperti menghargai diri sendiri.
Kalau dilihat dari sikap para pejabat, segera dapat diambil kesimpulan soal hakikat. Lihat bagaimana mereka membuat langkah, bicara, membuat kebijakan untuk diterapkan. Semua tanpa memperhatikan jati diri sendiri. Yang utama asal bapak senang dan asal diri kita tetap terpakai dalam kekuasaan, karena mereka tak mengenal diri sendiri.

IV
Tugas Manusia
adalah Menjadi Manusia

Ini adalah ucapan seorang tokoh yang tahu hakikat dirinya sebagai manusia. Ia tidak peduli risiko hidupnya sendiri, bahkan terusir dari tanah air dan disebut sebagai pengkhianat bangsa sendiri. Yang penting, ia tahu hakikat dirinya sendiri dan tahu bahwa keadilan adalah salah satu prinsip hidup manusia sejagat. Orang yang mengatakan ini adalah Multatuli dari Belanda. Ia kecewa terhadap tanah airnya di mana penguasanya memeras bangsa lain – bangsa Jawa. Buat Multatuli itu tidak etis, tidak manusiawi, tidak adil, dan tidak bisa dibiarkan. Harus dilawan. Dan ia melawan: melawan kekuasaan tanah air sendiri. Itu orang lain, bangsa lain, ras lain.
Lalu bagaimana kalau keadaan seperti itu dilakukan oleh pejabat sendiri, bangsa sendiri? Tak boleh dibiarkan! Harus dilawan! Keadaan sudah tidak bisa ditunggu, tapi harus dituju dan diburu. Untuk suatu keadilan orang harus berani. Tanpa keberanian menusia tak lebih dari ternak, kata Pramoedya Ananta Toer. Dan, Pramoedya Ananta Toer memang penerus perjuangan yang telah dirintis oleh Multatuli. Dan, untuk menjadi manusia tidak mengenal bangsa, tanah air, negara. Lebih-lebih Cuma jabatan, kedudukan. Semua manusia di dunia harus mengerti bahwa manusia punya kedudukan sama, walau ia manusia tunggal dengan bakat dan kecerdasannya masing-masing. Itu adalah tugas manusia menjadi manusia. Dan, semua penyimpangan terhadap hakikat harus dilawan. Kalau diri sendiri tidak melawan, kita sendiri mengingkari kedudukan sendiri – pribadi sebagai manusia.

V
Kata adalah Senjata

Salah satu cara untuk menjadi manusia sejati adalah berjuang. Dan, berjuang tidak selalu harus dengan bedil. Pejuang sejati tak perlu membuat lamaran dengan daftar riwayat hidup. Semua bisa menjadi pejuang, dan semua bisa jadi pahlawan. Pahlawan bukan milik golongan orang tertentu.
Cara yang paling mudah menjadi pejuang adalah bersenjatakan kata. Sederhana, tapi punya pengaruh mendalam dan abadi. Kata adalah senjata yang tak ada duanya. Dan, siapa saja bisa jadi pejuang; petani, buruh, mahasiswa; semuanya tanpa batas umur, ras, nasionalisme, dan keyakinan. Pejuang dan pahlawan bukan monopoli kelas tertentu, bukan lapisan masyarakat tertentu dan berpredikat tertentu pula. Tidak, pejuang dan pahlawan milik siapa pun yang berjuang

VI
Saya Berpikir
Maka Saya Ada

Ketidakadilan adalah proses buatan manusia. Karena hanya buatan manusia, maka ia pun harus dilawan oleh manusia juga. Dan, ketidakadilan itu dibuat oleh orang yang berpikir. Dia berpikir maka dia bisa menciptakan ide ketidakadilan. Namun keadilan itu milik semua orang, tanpa kecuali. Kalau ada orang yang berusaha menciptakan lain, itu pasti penyimpangan; disadari atau tidak, terselubung atau terang-terangan. Dan, proses seperti itu harus dihindari, dilawan juga oleh orang-orang yang nyata dan berpikir pula. Seperti kata Descartes, yang sudah menjadi moto mendunia, tapi salah kaprah.
Ia mengatakan, “Saya berpikir maka saya ada.” Menurut saya, “Saya ada maka saya berpikir.” Namun biarlah itu menjadi suatu moto yang bernuansa apologetik, karena pamflet ini bukan untuk memperdebatkan suatu moto, melainkan untuk mencari solusi demi dunia masa datang yang penuh dengan ancaman kehancuran yang dilakukan oleh para penguasa yang rakus dan tak punya hati nurani. Karena kami lahir dan belum mati, dan bahwa bencana mengancam, kami berusaha menjadi manusia – manusia yang mencoba menjadi manusia demi manusia dan bumi manusia masa datang. Itu karena kami berpikir, dan pikiran itu kita wujudkan dengan kata – kata sebagai senjata dan bukan yang lain!

VII
Kasus Patmi

Ketika saya menjadi pejuang NKRI tahun 1962, Patmi belum lahir. Pejuang di sini berdasarkan konotasi Tan Malaka yang berjuang demi Republik Indonesia dan tewas di tangan-tangan manusia yang belum jadi menusia, tapi jadi penguasa di kaki Gunung Wilis. Tan Malaka mengatakan, “Pejuang itu tidak ada yang menyuruh, tidak minta dibayar dan tak ada pamrih apa pun.”
Patmi yang lahir pada 30 Agustus 1969 itu adalah bukan pejuang kelas lokal, kelas nasional, dan regional, melainkan pejuang kelas dunia. Ia lahir dari keluarga kelas dunia, tumbuh menjadi pejuang kelas dunia, dan tewas demi perjuangannya memanusiakan manusia sedunia. Mengapa? Ya, karena Patmi adalah petani turun-temurun. Jadi petani adalah pilihan. Dan, petani adalah kelompok atau lapisan masyarakat yang memberi makan seluruh dunia. Karena petani adalah pencipta nilai tambah, nilai lebih. Dan, kesimpulan itu tak terbantahkan oleh dalih sebagus apa pun. Tak terbantahkan!!!
Patmi sadar diri bahwa ia adalah pejuang kemanusiaan sejagat. Soal harta ia tak peduli, ia peduli atas status dirinya. Dan ia tewas, bukan meninggal. Tewas sebagai pejuang kemanusiaan sejagat. Mereka yang tak setuju pendapat ini jelas no homo dan tidak punya hati nurani, tidak mengerti hakikat dirinya. Lebih nyata lagi ketika para keluarga ikhlas, dan mereka ikhlas menyerahkan sumber hidupnya sendiri untuk membuat monumen perjuangan petani seluruh dunia. Keluarga Patmi butuh keabadian nama, bukan harta! Patmi adalah akronim dari PATriot buMI!!! Dia tewas demi bumi kita ini. Bukan khusus Pegunungan Kendeng, melainkan seluruh gunung di dunia, termasuk yang disebut langit atap dunia – Gunung Himalaya. Jelas ia bukan pejuang karbitan, turun ke jalan karena ada motif di belakang itu, ada indikasi tersamar dan terselubung. Ia berjuang karena harus berjuang dengan cita-cita mulia. Dan ia siap mati demi bumi beserta isinya.


VIII
Puisi

Patmi

Patmi – namamu
PATriot buMI – perjuanganmu
Pati – tempat lahirmu
Mati bukan masalah bagimu

Matamu bak energi
Mulutmu terkunci
Semua kerja mulia
Menciptakan nilai lebih utama
Petani tanpa tahta dan harta
Cuma kenal diri semata

Patmi – Patmiku
Patmi – Patmimu
PATriot buMI
Namamu abadi
di Pati dan seluruh negeri
dari kini sampai nanti

Soesilo Toer
Pengelola Perpustakaan Pataba Blora

Jumat, 08 September 2017

PEMBERONTAKAN DI PELABUHAN




Dari Penerbit

Setelah acara bedah buku Cinta Pertama karya Maxim Gorky di aula gedung D lantai 3 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran Kampus Jatinangor, Sumedang, pada 10 Mei 2017 kami melanjutkan perjalanan ke Depok karena satu dan lain hal. Ketika itulah Ibu Utati (istri mendiang Koesalah Soebagyo Toer) memberi kami sebuah fotocopy buku karya Aleksandru Sahia ini bersama dengan beberapa fotocopy majalah lama yang memuat tulisan Koesalah Soebagyo Toer. Memang sudah sejak lama kami memiliki keinginan untuk mengumpulkan tulisan-tulisan lama keluarga Toer, dalam bentuk apa pun, bisa berupa puisi, esai, cerpen, dan sebagainya.
Untuk mewujudkan keinginan itu kami sudah mulai melakukan proses pencarian dengan dibantu beberapa kawan penjual buku lawas seperti Bayu Nugrah, Dodit Sulaksono, Dinding Buku, Entis Gladag, dan lain-lain.
Selama mencari, dan dengan dibantu kawan-kawan tersebut, terkumpul cukup banyak tulisan-tulisan lama. Bahkan sekiranya dibukukan, dapat menjadi beberapa buku. Dari tulisan yang berhasil dikumpulkan, setidaknya kami menemukan ada enam keluarga Toer, mereka adalah Pramoedya Ananta Toer, Walujadi Toer, Koesaisah Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Soesilo Toer, dan Soesetyo Toer. Praktis hanya dua orang keluarga Toer yang, entah tidak menulis atau kami gagal menemukan tulisannya, yaitu Koenmarjatoen Toer dan Oemisjafaatoen Toer. Padahal, pada awalnya kami hanya fokus mengumpulkan tulisan-tulisan lama dari Walujadi Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Soesilo Toer di mana nama ketiganya tercantum dalam buku Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah; Drama, Prosa, Puisi karya Ernst Ulrich Kratz terbitan UGM Press. Sementara untuk tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer pasti sudah banyak yang mengumpulkan, demikian pikir kami. Namun andaikata kami menemukannya, tetap kami dokumentasi untuk koleksi pribadi.
Selain dari Ibu Utati, kami juga dapat meminjam dua buah buku lawas dari Mas Dodit Sulaksono karya A.I. Ulyanowa & Jelizarowa berjudul Kenang-kenangan tentang Ilyitsy (Lenin) terjemahan Walujadi Toer dan Anton Chekhov berjudul Pertaruhan terjemahan Pramoedya Ananta Toer & Koesalah Soebagyo Toer.
Dari buku fotocopy Pemberontakan di Pelabuhan kami mengetahui bahwa cerpen “Hujan Juni” sudah pernah dimuat dalam majalah Kisah nomor 10 tahun III Oktober 1955 halaman 21-23 dengan judul “Turunlah Hujan.” Entah apa yang menjadikan kedua judul cerpen itu berbeda. Begitu pun dengan isi keduanya. Entah itu karena cerpen tersebut diterjemahkan ulang (mengingat perbedaan rentang waktu lima tahun antara dipublikasikannya cerpen ini di majalah dan kali pertama buku ini diterbitkan) atau karena proses penyuntingan redaksi, baik itu dari pihak penerbit, maupun majalah. Namun kedua kemungkinan itu tak begitu memberi pengaruh signifikan cerita secara keseluruhan.
Sebagai solusi untuk mengatasi masalah perbedaan, dalam buku ini kami muat sama dengan fotocopy buku yang diberikan oleh Ibu Utati, namun dengan penyesuaian ejaan. Sementara untuk cerpen “Turunlah Hujan” rencananya akan kami muat dalam buku Antologi Cerpen Dunia yang (semoga saja bisa) memuat terjemahan dari Pramoedya Ananta Toer, Walujadi Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Soesilo Toer dari beberapa penulis dari berbagai belahan dunia. Semoga saja buku tersebut bisa segera kita nikmati bersama. Amin.
Buku ini kali pertama diterbitkan oleh Jajasan Pembaruan Djakarta pada tahun 1960. Menurut daftar riwayat hidup Koesalah Soebagyo Toer, buku ini diterjemahkan dari bahasa Inggris. Dari Wikipedia kami mengetahui buku ini berjudul Revolt in the Harbour dalam bahasa Inggris dan Revolta în Port dalam bahasa asli, Rumania. Tentu saja, karena Koesalah Soebagyo Toer baru ke Uni Soviet (sekarang Rusia) tahun 1960, dan mulai menerjemahkan langsung dari bahasa Rusia setelah kembali ke Indonesia, lebih tepatnya lagi setelah bebas dari Penjara Salemba selama sepuluh tahun.
Meskipun diterjemahkan dari bahasa Inggris pada awal-awal sang penerjemah merintis karier, namun tidak dapat dimungkiri buku ini memiliki kualitas terjemahan yang baik. Hal itu bukan semata pendapat asal-asalan, ngawur, atau hanya untuk memuji-muji, namun sudah diakui oleh Dodit Sulaksono, seorang penjual buku lawas yang sudah ahli dalam dunia perbukuan. Bahkan Mas Dodit berani menyatakan bahwa ada perbedaan dari salah satu buku Pramoedya Ananta Toer antara cetakan lama dan cetakan baru. Kalau bukan pemerhati yang tekun, apa mungkin dia bisa mengetahui hal itu? Tentu tidak. Dengan tegas Mas Dodit Sulaksono menyatakan bahwa terjemahan Pak Koesalah Soebagyo Toer lebih baik ketimbang sang kakak, Pramoedya Ananta Toer. Tentu saja kami berpikir bahwa mungkin memang dalam bidang penerjemahan itulah Pak Koesalah Soebagyo Toer berbakat. Bakat yang terus dia pupuk, sampai ke Negeri Beruang Merah di mana dia lebih mendalami filologi, dan hal itu pula yang menjadikan dia sebagai penerjemah terbaik Indonesia, khususnya dari bahasa Rusia. Perlu bukti? Vladimir Putin sudah mengakui dengan memberikan Pushkin Award pada Hari Rusia, 1 Juni 2016, sekitar dua setengah bulan setelah Pak Koesalah Soebagyo Toer wafat. Penghargaan tersebut hanya bisa didapat oleh seorang penerjemah yang sudah menerjemahkan minimum 30 tahun, sementara kalau dihitung sejak kali pertama Pak Koesalah Soebagyo Toer menerjemahkan cerpen “Vanka”  karya Anton Pavilovich Chekhov yang dimuat dalam majalah Kisah nomor 4 tahun III April 1955 halaman 29-30 sampai wafat pada 16 Maret 2016, maka sudah hampir 61 tahun. Dan dalam rentang waktu yang begitu panjang itu Pak Koesalah Soebagyo Toer berhasil menerjemahan banyak buku sastra Rusia termasuk adikarya Leo Tolstoy, Voina i Mir atau dalam bahasa Inggris War and Peace alias Perang dan Damai.
Dengan segala prestasi yang sudah diraih tersebut, tentu akan sulit untuk menandingi atau bahkan mengalahkannya. Namun kami berharap akan lahir penerjemah-penerjemah muda lain yang memiki hasrat, kemauan, ambisi, dan kerja keras untuk mengalahkan Pak Koesalah Soebagyo Toer, jika tidak, maka izinkanlah saya mengutip kata-kata Pramoedya Ananta Toer, “maka sudah semestinya kata kemajuan dihapuskan dari peradaban.” Selamat membaca.

Blora, 10 Juni 2017, 16. 25

    

Pengantar Penerjemah

Belum banyak yang diketahui tentang kesusasteraan Rumania di Indonesia. Seperti negeri-negeri yang lain, Rumania pun mempunyai penulis-penulis terkemuka, yang menulis bukan hanya sekadar iseng, melainkan dengan dasar perjuangan yang lebih meyakinkan.
Alexandru Sahia yang cerita-cerita pendeknya dimuat dalam buku ini, adalah salah seorang penulis Rumania terkemuka yang menulis untuk membela kepentingan rakyat. Ia meninggal tanggal 12 Agustus 1937 ketika masih berumur 29 tahun, dan adalah anak seorang petani yang berhasil dapat membaca dan menulis hanya sesudah perjuangan sengit melawan kemelaratan.
Mula-mula ia membantu majalah-majalah progresif waktu itu, Djaman Baru, Dunia Merdeka dan Kebenaran Sastra, tetapi kemudian ia mendirikan sendiri majalah Kebaja Biru dan harian Abad Baru. Baik majalah-majalah yang dibantunya itu maupun yang dibangunkannya sendiri mendapat tekanan yang berat karena dicekiknya kemerdekaan pers waktu itu, dan demikianlah majalah dan hariannya itu tidak berumur panjang.
Di samping cerita pendek, Sahia adalah juga penulis esei dan artikel. Sekalian tulisannya mengandung keyakinan yang teguh akan menangnya cita-cita merdeka, menangnya dalam perjuangan untuk melenyapkan perbudakan manusia oleh manusia yang lain.
Sahia sadar akan segi buruk daripada penghisapan yang berlaku atas kaum pekerja, dari kebangsaan apa pun juga. Ia pun tahu akan melaratnya nasib kaum tani. Ia mengerti akan tugas seorang penulis. Karena itulah maka hasil-hasil kerjanya rapat bergandengan dengan hasrat rakyat yang terbanyak, yang hidupnya dilukiskan juga di dalam cerita-cerita pendeknya yang termuat ini. Di tengah badai yang dahsyat, ia masih menantikan datangnya langit biru, di mana akan muncul matahari yang akan memancarkan sinarnya.
Betapa pun pahitnya kemelaratan, betapa pun kerasnya keadaan bagi kaum pekerja yang hidup di bawah kekuasaan kaum penghisap, seperti selalu dilukiskannya di dalam cerita pendeknya, tulisan Sahia merupakan ajakan untuk yakin akan hari depan, ajakan untuk berjuang.
Saya harap, cerita-cerita pendek Sahia ini tidak hanya akan dapat dinikmati sebagai hasil sastra, melainkan juga sebagai ajakan, ajakan untuk yakin akan hari depan, ajakan untuk berjuang.

Koesalah Soebagyo Toer



Penutup

Terus terang, selama 11 tahun di Uni Soviet (1962-1973) belum pernah saya mendengar tentang para tokoh atau budayawan Rumania. Kalau Bulgaria dengan lagu-lagu pop yang berbahasa praktis sama dengan bahasa Rusia, Hungaria dengan lagu-lagu bangsa pengembara, praktis saya dengar setiap hari. Kalau ditelusuri, waktu itu memang seperti ada perang dingin antara Uni Soviet dengan Rumania, terutama masalah perdagangan minyak. Kedua negara sama-sama produsen minyak, cuma kemampuan yang berbeda.
Siberia adalah pusat gas minyak bumi. Eropa praktis dikuasai oleh Uni Soviet. Oleh karena itu Rumania kehilangan pasar. Hal itu menimbulkan sentimen antara kedua negara, termasuk dalam dunia budaya dan kesusasteraan pada umumnya. Jangankan Rumania yang praktis bertetangga dengan Uni Soviet, dalam Peristiwa 65 di Indonesia pun mengalami dampak luar biasa, terutama bagi mahasiswa Indonesia yang pada waktu itu belajar di Uni Soviet. Mereka yang semula diperlakukan sebagai anak emas, setelah Peristiwa 65 menjadi anak tiri. Karya pengarang terkenal Rusia, Fyodor Dostoyevsky pun waktu itu dianjurkan untuk tidak dibaca karena dianggap menyebarkan ajaran pesimisme menghadapi dunia masa depan, sementara ketika itu Uni Soviet penuh optimisme berkait sosialisme-komunisme.
Ada kenang-kenangan tersendiri antara saya dengan Rumania. Setidaknya tiga kali saya istirahat musim panas di Republik Moldavia yang berbatasan dengan Rumania dan hanya dipisahkan oleh Sungai Dnester yang tenang dan bersih selebar hanya sekitar 100 meter.
Selama saya masuk sebagai anggota Negeri Tirai Besi, perekonomian Moldavia berkembang sangat signifikan, terutama pertanian yang berkembang puluhan kali dan menjadi basis utama penyuplai produk pertanian untuk Rusia yang beriklim dingin. Namun Moldavia masih kalah jauh dengan Rumania. Jadi, sepanjang Sungai Dnester adalah merupakan lahan pameran keberhasilan dalam dunia pertanian Rumania. Sama seperti halnya Tembok Berlin sesudah selesai Perang Dunia II, sehingga banyak orang Jerman Timur yang lari ke Jerman Barat lewat perbatasan Berlin Barat tersebut oleh iming-iming keberhasilan ekonomi dunia Barat.
Yang ingin saya ceritakan adalah, saya juga kepincut dengan iming-iming Rumania tersebut. Pada suatu kesempatan sambil istirahat di tepi Sungai Dnester, saya diam-diam menghindari pengawal perbatasan: berenang ke Rumania, mencuri anggur, makan sekenyangnya, dan kemudian berenang kembali ke Moldavia. Orang di sana menyebut daerah itu adalah Bezarabika yang berarti daerah yang tidak pernah dikuasai oleh bangsa Arab, yang pernah jaya sampai Andalusia di Spanyol.
Karena kekenyangan dan kecapaian saya hampir tenggelam. Untung diselamatkan para penjaga perbatasan. Saya dihabisi dengan makian dan sumpah serapah. Namun tidak menyentuh fisik saya sama sekali. Hal itu saya ingat sampai hari ini walau itu sudah terjadi lebih 50 tahun yang lalu.
Sudah disinggung oleh sang penerjemah, Koesalah Soebagyo Toer, Alexandru Sahia adalah orang yang percaya akan hari kemenangan kaum proletar. Perlu dijelaskan bahwa istilah proletar berasal dari dua kata; pro yang berarti mendung atau setuju dan l’etat yang berarti negara – kelompok tertindas yang mendukung berdirinya negara di bawah kaum yang tertindas. Istilah proletar muncul sekitar permulaan abad ke-19 bersamaan dengan lahirnya istilah liberty dan liberalisme dan lahirnya negara-negara yang mengandalkan modal sebagai cara baru menghisap dan menindas kaum miskin.
Alexandru Sahia (11 Oktober 1908 – 12 Agustus 1937) adalah nama pena dari Alexandru Stănescu. Dia adalah seorang jurnalis komunis dan pengarang cerita pendek dari Rumania yang paling terkenal di antara pengarang-pengarang lain di Rumania. Alexandru Sahia lahir di Mânăstirea, Călăraşi County dalam sebuah keluarga petani miskin, sehingga hal itu berpengaruh sangat besar terhadap cerita-cerita yang dia tulis. Dalam tiap ceritanya selalu terbayang perjuangan melawan penindasan untuk memberi kedudukan golongan yang lemah di dalam masyarakat. Membaca karya-karya Alexandru Sahia yang cuma sedikit, saya menyimpulkan bahwa ia adalah seorang radikal kiri.
Alexandru Sahia mendaftar di Croiva Military College, yang dia anggap “menyesakkan.” Dia menyelesaikan pendidikan tingkat dua di Saint Sava National College di Bukharest dan mulai belajar hukum di Universitas Bukharest. Dia menderita akibat depresi dan, meskipun kemungkinan besar masih ateis, dia menjadi pengikut baru di Biara Cernica pada 1929. Secara mengejutkan dia menggunakan periode yang relatif terisolasi itu untuk mempelajari marxisme, yang dia dirikan untuk menciptakan “arah paling tepat dalam kehidupan yang luar biasa.” Alexandru Sahia berpendapat itu merupakan salah satu cara memperjuangkan masa depan kaum proletar supaya dapat hidup lebih manusiawi.
Pada tahun 1930, Alexandru Sahia meninggalkan biara dan melakukan perjalanan ke Timur Tengah, mengadopsi nama barunya yang berasal dari bahasa Arab sahiya yang berarti kebenaran. Alexandru Sahia banyak menulis dalam majalah The New Era, The Free World dan The Literary Truth.
Mengikuti zaman, dalam kehidupan Sahia mulai berkolaborasi dengan Partai Komunis Rumania. Sebagai partai yang diadopsi dari Joseph Stalin, tokoh Partai Komunis Rusia dari Gruzia, bidang ideologi yang terkenal itu, dalam Kongres ke-V pada 1934 Alexandru Sahia diminta sebagai salah satu orang yang dapat “menyampaikan” kepada masyarakat. Keterlibatan Alexandru Sahia dengan partai kiri dapat kita simak dari salah satu cerpen yang dia sitir dari karya antitesis Vladimir Ilyich Lenin terhadap tesis Karl Heinrich Marx, yaitu revolusi sosialis harus dilakukan melalui organisasi yang modern.
Alexandru Sahia adalah seorang anggota Amicii URSS, dia juga dibiayai oleh majalah yang diinisiatori partai, Bluze Albastre (Blue Blouses atau Kebaya Biru) dan harian Veac Nou (The New Century). Namun keduanya tak bisa hidup lama, karena Pemerintah Rumania waktu itu tak suka melihat dia mencapai kemajuan-kemajuan dalam lapangannya.
Pada periode itu juga kali pertama dia dibiayai secara politik. Cerita-cerita pendek realisme-sosialis Alexandru Sahia ala Maxim Gorky antara lain “Revolta în Port” (“Revolt in the Harbour” atau “Pemberontakan di Pelabuhan”), “Uzina vie” (“The Living Factory” atau “Pabrik yang Bernyawa”), “Întoarcerea tatii din război” (“Father’s Return from the War” atau “Kembalinya Ayah dari Perang”), “Execuţia din primăvară” (“The Execution during Springtime” atau “Eksekusi Ketika Musim Semi”), “Şomaj fără rasă” (“Unemployment Regardless of Race” atau “Pengangguran Tanpa Memandang Ras”), “Înghiţitorul de săbii” (“The Sword Swallower” atau “Penelan Pedang”). Beberapa di antaranya difilmkan.
Dalam cerita “Hujan Juni” atau dalam majalah Kisah nomor 10 tahun III Oktober 1955 halaman 21-23 berjudul “Turunlah Hujan” yang menjadi cerita pertama buku ini, Alexandru Sahia melukiskan bagaimana kesukaran sebuah keluarga tani yang hidup di bawah tekanan pemerintahnya sendiri yang tidak mau tahu tentang penghidupan golongan tani yang sukar.
Pada 1934, Alexandru Sahia melakukan perjalanan mengelilingi Uni Soviet. Meskipun dia memperhatikan langsung gelombang teror yang terus meningkat (dia bahkan mengklaim telah ditangkap sementara waktu setelah menanyakan beberapa pertanyaan yang mengganggu), rupanya Alexandru Sahia tidak ragu menulis pujian klasik untuk sistem Soviet dalam literatur Rumania berjudul URSS azi (The USSR of Today) yang terbit tahun 1935. Dalam buku itu dia menggambarkan keadaan-keadaan baik yang telah bisa dicapai oleh Uni Soviet.
Alexandru Sahia meninggal pada 12 Agustus 1937 di Bukharest karena tbc. Studio film dokumenter dalam Komunis Rumania dinamai menurut namanya dan pada 1948 Alexandru Sahia terpilih secara anumerta untuk Akademi Rumania.

Soesilo Toer